GARDANASIONAL, JAKARTA – Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Jaleswari Pramodhawardhani, mengakui persoalan radikalisme di Indonesia sudah mulai meningkat sejak 10 tahun terakhir. Bahkan tak hanya institusi pemerintah, kelompok masyarakat juga terpapar paham negatif tersebut.
“10 tahun terakhir ini mengkonfirmasi, radikalisme tidak hanya muncul di institusi pemerintah. Namun juga di institusi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan,” ujarnya di Jakarta belum lama ini.
Karena itu, semua membuktikan ancaman radikalisme nyata muncul di Indonesia. Bahkan alarm gerakan radikalisme sudah berbunyi, termasuk ketika Indonesia tengah melakukan pesta demokrasi lima tahunan.
“Termasuk saat begitu terasa menurunnya kualitas toleransi di Indonesia,” imbuhnya.
Menurutnya, periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan memprioritaskan pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berlandaskan Pancasila. Semua dilakukan agar muncul penguatan Pancasila di tengah masyarakat.
“Saat ini pun pembangunan Jokowi 5 tahun ke depan adalah SDM yang berlandaskan Pancasila,” imbuhnya.
Senada dengan itu, eks Asops Panglima TNI, Mayor Jenderal (purn) Supiadin Aries Saputra, mencontohkan gerakan radikalisme yang sudah ada di Indonesia sejak lama, seperti pemberontakan DI TII maupun NII pada masa awal kemerdekaan.
“Tadinya gerakan radikalisme adalah gerakan tradisional. Namun dengan berkembangnya media sosial, maka gerakan radikal juga ikut berkembang,” katanya.
Baginya, media sosial menjadi media untuk kelompok radikal melancarkan aksinya, guna menghancurkan moral generasi milenial. “Kita kenal dengan asimetrik warfare, perang anomali, ujung tombaknya proxy war, yakni perang yang tidak menggunakan angkatan perang,” terangnya.
Karena itu, untuk menangkal hal tersebut, sedikitnya ada dua yang secara konseptual bisa dilakukan. Pertama, melalui kontra radikalisme dan kedua, melalui deradikalisasi.
Kontra radikalisasi bisa dimaksimalkan bagi mereka yang belum terpapar. Sementara deradikalisasi diperuntukkan bagi mereka yang sudah terpapar.