Puasa dan Zakat Fitrah Sejatinya Menumbuhkan Rasa Empati

Nasional4 Dilihat

Salah satu diantara hikmah kenapa Allah mewajibkan puasa itu di antaranya adalah menumbuhkan rasa empati kepada orang lain, disempurnakan dengan zakatul fitri, memfitrahkan diri kita sendiri”

JAKARTA – Puasa dan zakat fitrah dalam bulan suci ramadan, sejatinya menumbuhkan rasa empati dan memfitrahkan diri untuk kembali menjadi manusia yang fitri.

Karenanya, dengan zakat fitrah sebagai bagian dari amalan di bulan suci, hendaknya dijadikan momentum bagi umat untuk me-reset atau mendesain ulang diri agar tunduk dengan kemauan sang Ilahi.

Demikian dikatakan Wakil Direktur Eksekutif Internasional Conference of Islamic Scholar (ICIS), Khariri Makmun, di Jakarta, Sabtu (30/4).

“Salah satu diantara hikmah kenapa Allah mewajibkan puasa itu di antaranya adalah menumbuhkan rasa empati kepada orang lain, disempurnakan dengan zakatul fitri, memfitrahkan diri kita sendiri,” ujarnya.
 
Ia menjelaskan, masyarakat perlu memahami hikmah berzakat dan berpuasa sebagai upaya menghilangkan sikap permusuhan, kebencian, bahkan perbuatan radikal intoleran.

Esensi puasa dan zakat guna menjadikan jiwa suci dan semakin bertaqwa, maka implikasinya ialah dengan mengendalikan ucapan, terutama dalam bersosial media, menjauhkan diri dari tulisan yang bisa memprovokasi orang lain untuk permusuhan, membenci orang lain, termasuk berbuat radikal.

Baca Lagi: Hikmahanto: Saya Memahami Kefrustrasian Presiden Zelensky

“Didalam hadits, Rasul mengatakan, ‘Barangsiapa berpuasa tapi tidak bisa meninggalkan ucapan yang buruk, dan juga tidak bisa meninggalkan perbuatan yang buruk, maka tidak ada gunanya dia meninggalkan makan minum’. Karena esensi puasa kan jiwa semakin suci, semakin bertaqwa,” katanya.

Terlebih saat ini sudah mendekati idul fitri, ia menambahkan, bahwasanya momen tersebut juga bisa  dimaknai sebagai momentum kemenangan diri dalam melawan virus keburukan dalam hati termasuk perilaku radikal intoleran.

“Nanti 1 Syawal itu kita kembali ke fitrah dan menang melawan hawa nafsu, termasuk kita mengembalikan fitrah dalam beragama harus moderat, tidak terjebak dengan cara beragama yang radikal dan fundamental, tapi menjadi umat islam yang moderat,” kata dia.

Terkait moderasi beragama, maka menjadikan seseorang tidak mudah terbawa kearah radikal serta tidak menjadi umat tidak mampu mengendalikan diri.

“Jadi esensi kita untuk beragama harus moderat supaya tidak mudah terbawa kearah radikal, dan kita tidak mampu mengendalikan diri (dan nafsu),” ujar dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *