JAKARTA – Indonesia kembali dikejutkan dengan penangkapan seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Jawa Timur sebagai bagian dari jaringan terorisme.
Kejadian itu menunjukkan paparan ideologi radikal terorisme tidak mengenal status dan tingkat pendidikan. Bahkan diduga infiltrasi paham tersebut telah lama masuk dalam sektor pendidikan dari berbagai celah yang diabaikan lembaga pendidikan.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pendidikan Nasional, Darmaningtyas, menyayangkan peristiwa itu.
Ia menilai, sejatinya radikalisme di kampus merupakan tanggungjawab semua pihak. Upaya pembenahannya tidak bisa hanya dibebankan pada kampus semata, namun institusi pendidikan secara keseluruhan.
“Itu bukan semata-mata tanggung jawab pihak kampus, tetapi juga institusi pendidikan secara keseluruhan, mulai dari SMP, SMA juga,” ujarnya di Jakarta, Rabu (1/6).
“Kalau doktrinnya di SMP dan SMA itu sudah kuat, tentunya ketika menjadi mahasiswapun juga mereka tidak bisa digoyahkan Jadi ini menjadi tanggung jawab bersama,” lanjut dia.
Darmaningtyas menyayangkan jika ada institusi perguruan tinggi yang cenderung meremehkan masalah radikalisme di lingkungan kampus.
Baca Lagi: BNPT: Khilafatul Muslimin Sama Bahayanya dengan HTI, NII, dan ISIS
Menurutnya, hal itu cenderung akan membuat mahasiswa terhegemoni oleh pandangan-pandangan yang radikal yang tidak disadari.
“Sebenarnya akan menjadi bahaya kalau masalah radikalisme di kampus dianggap remeh, didiamkan saja, dan tidak ada counter wacana. Karena jumlahnya kan mungkin sedikit. Justru karena sedikit itu mereka menjadi militan,” kata dia.
Oleh kebab itu, kunci utama guna mengurai persoalan radikalisme di lingkungan institusi pendidikan ialah bagaimana mewujudkan agar tatanan atau nilai-nilai yang ada di dalam Pancasila terimplementasi dengan baik.
Kasus yang telah terlanjur terjadi dilingkungan kampus, Darmaningtyas menilai perlu dibangunnya kebijakan, yaitu melalui counter wacana, dimana kampus perlu lebih menggalakkan upaya guna memperkenalkan ideologi Pancasila secara lebih nyata kepada siswanya dan juga counter perbuatan.
“Counter perbuatannya adalah dengan mengimplementasikan ideologi Pancasila secara nyata, sehingga orang tidak lagi bermimpi tentang ideologi yang lainnya, karena Pancasila pun sudah dianggap memberikan jawaban apa yang mereka inginkan,” katanya.
Ia menambahkan, mahasiswa sangat rentan dan mudah direkrut oleh kelompok radikal. Hal tersebut adalah akibat ketidakkonsistenan di dalam kehidupan. Pancasila yang hanya ‘dicekoki’ sebagai sebuah teori dan hafalan tanpa contoh implementasi yang jelas dan konsisten.
“Ibaratnya tiap hari dicekokin ideologi Pancasila, tetapi itu tidak terlihat di dalam praktek, itulah kelemahan yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk merekrut anak muda. Karena kebingungan anak muda melihat ketidakkonsistenan disitu,” ujar dia.
Upaya Mengembangkan Sikap Moderat dan Toleran
Upaya yang dapat dilakukan dalam membangun institusi Pendidikan yang nyaman, untuk mengembangkan sikap moderat dan toleran serta dapat menumbuhkan nilai toleransi sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Pertama, memberikan mata kuliah Pancasila kepada seluruh siswa di tiap tingkat Pendidikan. Kedua, mengembangkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler seperti seni dan olahraga.
“Inikan yang tidak kita sadari, baik itu kesenian ataupun olahraga itu dapat mengurangi pandangan-pandangan yang radikal,” ujarnya.
Mengembangkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler seni dan olahraga, menjadi penting di lembaga pendidikan.
“Ini agar para siswa selain belajar, mereka juga dapat membangun kebersamaan melalui kegiatan seni dan olahraga. Karena dengan sikap seseorang yang tertutup dan enggan bersosialisasi, maka ia akan mudah dipengaruhi pemikiran radikal,” katanya.
Ia berharap, ada upaya serius dari pemerintah dalam merespon kasus radikalisme di lingkungan Pendidikan, agar tidak semakin berlarut, melalui asistensi Pendidikan Pancasila yang didahulukan dan digalakkan diawal masa Pendidikan hingga berkelanjutan.
Hal tersebut seperti kebijakan yang dibuat Prof. Dr. Pratikno saat menjabat sebagai Rektor UGM, dimana kebijakan yang dibuat adalah memindahkan jadwal asistensi pendidikan agama Islam dari semester awal ke semester belakang.
“Karena kalau diberikan di semester awal, mahasiswa yang baru lulus dari SMA yang kemudian masuk ke perguruan tinggi ini tentunya akan sangat mudah sekali untuk dipengaruhi memiliki pandangan-pandangan yang misalnya radikal tadi,” kata dia.
Berbeda jika ditaruh di semester belakang. Dengan ditaruh di semester belakang tentunya para mahasiswa ini sudah dibekali dengan pandangan-pandangan yang lebih rasional terlebih dahulu.
1 komentar