Psikolog Anak Ini Beberkan Cara Cegah Radikalisme di Usia Dini

Nasional2 Dilihat

JAKARTA – Proses radikalisasi di usia dini sengaja dilakukan, karena anak memiliki daya reseptif yang kuat dalam menerima berbagai hal baru. Begitu pula anak menjadi sasaran empuk kelompok radikal dalam melakukan kaderisasi. 

Oleh karena itu, melindungi anak dari virus intoleransi, radikalisme, dan terorisme sejatinya bagian dari menyelematkan masa depan bangsa.

Psikolog Anak dan Keluarga, Maharani Ardi Putri, mengatakan metode pencegahan radikalisme terhadap anak, dapat melibatkan semua pihak baik orang tua, guru maupun pemerintah dan Kementerian/Lembaga. 

“Jadi sebenarnya nilai toleransi dan sebagainya itu harus ditanamkan dari kecil, secara sistematis. Tidak hanya dalam bentuk mata pelajaran saja, tapi kita harus ajari dari segi behaviornya dan perasaannya,” ujarnya di Jakarta, Senin (25/7). 

“Jadi pembelajaran kita tentang nasionalisme, tentang toleransi, kerukunan harus disusun secara sistematis berjenjang dari TK sampai kuliah,” lanjutnya.

Pendekatan sistematis diperlukan agar menghasilkan keberlanjutan. Tidak bisa hanya orang tua, namun juga sekolah. Sehingga akan lebih efektif jika penanaman nilai tersebut dilakukan secara kolaboratif oleh semua pihak.

Baca Lagi: Kepala BNPT: Perempuan Berperan Penting Berantas Ekstrimisme

Disamping itu, orang tua anak juga harus mendapatkan sosialisasi tentang penanaman nilai-nilai toleransi, kerukunan dan keberagaman serta program yang menyadarkan kembali orang tua agar dapat Kembali ke akarnya, Indonesia.

“Tidak semua orang tua punya pemahaman dan pengetahuan yang sama tentang itu, bahkan kadang yang dewasa juga sudah terpapar lebih dahulu. Jadi sebetulnya mungkin orang tua juga perlu mendapatkan sosialisasi,” kata dia.

Pola dan bibit radikalisasi sudah dapat dilihat sejak dini, terlebih ketika anak tidak diajarkan toleransi dengan orang lain, maka itu sudah dimulai ada pengkotak-kotakan antara mereka dan kami.  Kondisi yang seperti ini, hanya akan membawa kepada pertumbuhan pengkotak-kotakan yang lebih luas lagi.

“Karena akan muncul pemikiran bahwa harus ada pihak yang salah, dan pihak yang kalah. Itu saja bisa menimbulkan radikalisme, apalagi dengan kemunculan oknum yang mengakatakan ajaran agama yang ini paling benar dan yang lain adalah salah,” katanya.


Untuk itu, ia berharap para pemuka agama dan penceramah lebih bijaksana menyampaikan sesuatu yang terkait dengan agama. Karena masyarakat memiliki tingkat pemahaman keagamaan yang berbeda. Dikahwatirkan justru menimbulkan banyak persepsi atau pemahaman keliru akan agama.

Ia meminta orang tua anak, agar mawas diri terhadap dunia dan lingkungan sekitar, terlebih jika sudah sampai kepada sikap judgemental atas perbedaan. 

“Sebaiknya jangan sampai diajarkan kepada anak, karena amat berbahaya, menyempitkan cara berpikir serta dikahawatirkan menjadi bibit dari sikap radikalisme dan fanatisme,” ujar dia.

“Jadi sebelum kita berbicara tentang bagaimana mengajarkan hal itu kepada anak di rumah, kita harus mulai memikirkan bagaimana menjaga pandangan dan perpektif terhadap manusia lainnya, karena pemikiran orang tua akan menjadi dasar berfikir bagi anak mereka,” tambahnya mengakhiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar