JAKARTA – Usulan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, agar perwira TNI aktif dapat menduduki jabatan sipil di kementerian, mendapat reaksi sejumlah pihak.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, usulan Menteri Luhut mengancam demokrasi dan kemunduran terhadap reformasi di tubuh TNI.
“Usulan tersebut justru kontradiktif dengan upaya reformasi TNI, sebab melibatkan kembali TNI ke urusan sipil sama saja dengan mengembalikan dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru,” ujar peneliti senior dari Imparsial sekaligus Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, di Jakarta, Sabtu (13/8).
Era orde baru (Orba), TNI turut campur dalam urusan sosial dan politik. Hal itu mengakibatkan terganggunya profesionalitas TNI dalam menjalankan tugas utama di bidang pertahanan.
“Di masa lalu, TNI (dahulu ABRI) tidak hanya terlibat dalam urusan pertahanan, tetapi juga ikut campur dalam urusan sosial-politik. Alhasil, struktur pemerintahan sipil di pusat maupun di daerah serta di parlemen banyak diisi oleh militer aktif, yang tentu berpotensi mempengaruhi profesionalitasnya dalam menjalankan tugas utamanya sebagai alat negara bidang pertahanan,” katanya.
Baca Lagi: Wakapolri: Lima Tahun Terakhir, Kampus Jadi Incaran Kelompok Radikal Terorisme
Oleh sebab itu, wacana perwira aktif TNI menduduki jabatan sipil juga dinilai bertolak belakang dengan agenda reformasi.
Apabila wacana tersebut terealisasi, negara gagal melanjutkan amanat reformasi. “Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil merupakan bentuk pengingkaran terhadap agenda reformasi, sebab mencabut doktrin dwifungsi ABRI justru merupakan salah satu agenda penting dari agenda reformasi 1998,” kata dia.
Menurut dia, jika agenda itu terus dilakukan pemerintah, maka hal itu menunjukkan ketiadaan komitmen dan kegagalan pemerintah dalam melanjutkan amanat reformasi yang telah berhasil menghapuskan doktrin dwifungsi ABRI.
”Pasal 47 UU TNI telah mengatur dengan jelas ketentuan-ketentuan perihal penempatan TNI aktif pada jabatan sipil,” ujar dia.
Sekadar diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari PBHI, Imparsial, KontraS, YLBHI, ICW, Elsam, Public Virtue Institute, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, SETARA Institute, ICJR, Centra Initiative, LBH Malang, dan HRWG.
Adapun 7 poin pandangan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi terhadap usulan Menteri Luhut, di antaranya:
1. Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan secara tegas menolak agenda revisi UU TNI untuk menempatkan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil di kementerian/lembaga yang dilontarkan oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
2. Koalisi menilai seharusnya reformasi TNI berjalan dua arah. Bukan hanya TNI yang berkomitmen melakukan reformasi TNI. Tetapi pejabat pemerintahan maupun DPR semestinya menjaga reformasi TNI, bahkan concern dalam memajukan dan/atau menguatkan sistem politik hari ini. Bukan sebaliknya, kontraproduktif dengan upaya reformasi TNI dan pelan pelan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru, di antaranya dengan menempatkan TNI aktif alam jabatan sipil melalui revisi UU TNI.
3. Koalisi menilai agenda untuk memperluas penempatan TNI aktif dalam jabatan sipil melalui revisi UU TNI adalah siasat untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru, yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang saat ini menduduki jabatan-jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan bahkan di badan usaha milik negara. Ombudsman RI sendiri mencatat sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN. Bahkan belakangan ini sudah ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat.
4. Koalisi menilai, secara hakikat, TNI memiliki dimensi kultural, struktural, doktrin, maupun organisasional yang berbeda dengan organisasi pemerintahan sipil. Prajurit TNI dididik untuk bertempur menghadapi peperangan, bukan untuk melayani masyarakat layaknya lembaga pemerintahan sipil. Untuk itu, TNI harus dikembalikan pada ruangnya dan fokus pada fungsi utamanya untuk melindungi dan mempertahankan negara dari ancaman perang. TNI harus fokus pada agenda reformasi institusinya menuju TNI yang lebih profesional yang mahir menggunakan peralatan militer, mahir menggunakan alat tempur, serta mampu melaksanakan tugas secara terukur dan memenuhi nilai-nilai akuntabilitas.
5. Koalisi menilai penempatan prajurit TNI dalam pemerintahan sipil bukan merupakan solusi yang tepat dalam menyelesaikan persoalan surplus perwira tinggi. Alih-alih menjadi solusi, justru terlibatnya TNI di ruang pemerintahan sipil hanya akan menimbulkan permasalahan baru. Seharusnya persoalan ini diselesaikan dengan perbaikan menyeluruh dalam proses reorganisasi dan restrukturisasi TNI.
6. Koalisi menilai pemerintah seharusnya concern dalam upaya akselerasi pelbagai agenda-agenda reformasi TNI yang masih mandek, seperti revisi UU Peradilan Militer, pembahasan peraturan terkait Perbantuan TNI, meningkatkan kesejahteraan prajurit, dan upaya-upaya lainnya untuk meningkatkan profesionalitas TNI.
7. Koalisi mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan agenda revisi UU TNI untuk menempatkan TNI aktif dalam jabatan sipil, karena itu merupakan bentuk kemunduran demokrasi dan melemahkan profesionalisme militer.