Intoleransi dan Radikalisme, Halangan Besar Wujudkan Indonesia Harmoni

Nasional3 Dilihat

JAKARTA – Virus intoleransi dan radikalisme menjadi halangan terbesar untuk mewujudkan Indonesia yang harmoni dalam keberagaman. 

Demikian dikatakan Peneliti dan Kader Intelektual Muhammadiyah, Muhammad Abdullah Darraz, di Jakarta, Jumat (19/8).

Darraz mengatakan, setidaknya ada dua elemen mendasar yang perlu dimiliki anak bangsa, untuk pulih dari virus intoleransi dan radikalisme yakni keterbukaan dan kedua sikap kritis. 

Proses radikalisasi, kata dia, sering kali masuk akibat keterbukaan yang tidak diiringi sikap kritis. Hal ini mengingat startegi infiltrasi kelompok radikal yang semakin halus, canggih dan ‘cantik’. 

Namun, kedua hal tersebut juga harus didorong dengan penanaman literasi yang baik, karena hal ini dapat dimanfaatkan untuk membangun benteng pencegahan yang kuat.

Baca Lagi: BNPT Survei Indeks Risiko Terorisme di Sulteng, Ini Wilayahnya

R

“Tentunya juga harus dibarengi dengan banyak literasi dan diskusi agar wawasan terbuka. Jadi ketika dihadapkan kepada oknum yang melakukan ‘manipulasi’ (agama dan ideologi), maka kita bisa kita cegah dengan pengetahuan dan sikap kritis,” katanya.

Indonesia dalam konteks radikalisme dan intoleransi sedang dalam kondisi ‘sakit’. Menurutnya, virus itu mampu melemahkan bangsa, sehingga menjadi mudah dipecah-belah dan kian terjebak dalam pusaran konflik.

Oleh karenanya, ia mengajak semua pihak untuk mampu merefleksikan diri melalui pesan kemerdekaan dalam bersatu dan bertekad melawan berbagai tantangan yang dihadapi sebagai sebuah bangsa, salah satunya praktik radikalisme dan intoleransi yang dewasa ini mudah dijumpai sebagai politisasi agama oleh oknum dengan kepentingan politik.

“Konteks di 2017, 2019, itu kentara sekali peristiwa politiknya, menolak perbedaan atas nama agama dijadikan permainan, dijadikan kepentingan politik. Ini Tidak boleh terulang kedepannya. Agama hasrus digunakan untuk mencapai kebajikan, bukan kepentingan sesaat,” kata dia.

Mengutip dari ustaz Yahya Zainul Maarif atau yang dikenal dengan Buya Yahya, Darraz mengatakan ‘kalau tidak siap menerima perbedaan, jangan lahir ke dunia’. Hal tersebut menjadi bekal bagi anak, pemuda dan masyarakat untuk menerima perbedaan dan keragaman yang harus ditanamkan sejak dini agar menjadi sifat bawaan yang melekat pada anak bangsa.

“Untuk itu, peran pendidikan akan sangat efektif untuk menanamkan sikap kritis,” ujar dia.

Menurutnya, guru dan sekolah harus menjadi benteng resiliensi siswa, bukan malah menjadi aktor radikalisasi siswa. Dengan kondisi itu, dibutuhkan agenda besar dari pemerintah agar secara serius memberikan penguatan kepada masyarakat, untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

“Pemerintah harus betul serius menggalang kerjasama dengan masyarakat sipil, tokoh dan ormas moderat. Jadi penguatan di masyarakat sipil harus benar dilakukan  yaitu bagaimana Pancasila bisa dibumikan dan berdampak positif,” ujar Darraz.

Penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait indeks risiko terorisme, sejak 2010 terus mengalami penurunan hingga 12 persen dari seluruh penduduk Indonesia. 

“Kelompok toleran harus lebih aktif bersuara dan masuk ke kelompok yang 12 persen itu, saya kira ini lebih efektif,” katanya.

Tidak hanya itu, Darraz juga berharap pemerintah mampu membawa dan mewujudkan Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera, sebagai ‘pekerjaan rumah’ yang masih harus diselesaikan pasca 77 kemerdekaan, guna mengurangi potensi radikalisme.

“Ini bom waktu yang kalau sudah meledak akan sulit diperbaiki. Keadilan sosial ini yang masih harus kita perjuangakan dan dibenahi, ini pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan pasca kemerdekaan,” ujarnya mengakhiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *