JAKARTA – Pasca 77 tahun kemerdekaan Indonesia dari keterjajahan fisik, tidak semata-mata membuat bangsa ini merdeka dari ancaman intoleransi dan radikalisme, khususnya di dunia maya.
Demikian diungkapkan ustadz kondang, Habib Husein Ja’far Al Hadar, di Jakarta, Jumat (19/8).
“Kemerdekaan melawan intoleransi dan radikalisme itu masih menjadi pekerjaan rumah kita. Karena sampai saat ini, media digital belum merdeka dari intoleransi dan radikalisme,” ujarnya.
Berdasarkan riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN (PPIM UIN) di Jakarta tahun 2021 lalu, menyebutkan konten-konten yang tidak moderat di media digital naik tiga kali lipat dari konten moderat yang hanya menguasai sekitar 20 persen dari keseluruhan konten media digital.
“Konten yang tidak moderat itu menguasai lebih dari 60 persen perbincangan di media digital,” kata dia.
Baca Lagi: Mantap! 40 Napiter ucap Ikrar Setia NKRI
Oleh karena itu, lanjut Habib Ja’far, menjadi kerja keras semua pihak untuk membendung konten negatif tersebut. Bukan hanya antar bidang, tapi juga antar gender.
Kemerdekaan 77 tahun Indonesia sebagai momen untuk pulih lebih cepat dari segala dorongan nafsu dan egoisme. Juga bangkit dari segala isu sektarian, yang bersifat politik identitas memecah belah kebhinekaan.
“Tagline ‘Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat’, itu sesuatu yang penting untuk mengisi kemerdekaan, agar kita bisa pulih lebih cepat dari segala dorongan-dorongan egoisme yang mengarahkan kepada intoleransi dan radikalisme serta bangkit lebih kuat untuk bangkit dari segala isu-isu yang sifatnya sektarian, yang sifatnya politik identitas,” katanya.
Ia menilai tantangan yang harus dihadapi oleh seluruh pihak saat ini, adalah bagaimana menerjemahkan nilai Pancasila pada generasi baru.
“Narasi-narasi baru dibutuhkan, agar generasi tersebut mampu menghayati nilai Pancasila sesuai perspektif dan cara mereka.,” katanya.
“Jadi tidak lagi kemudian soal menghafal Pancasila. Tapi soal bagaimana mereka menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan ragam fenomena yang baru,” tambahnya.
Olehnya itu, dapat dilakukan dengan cara mendorong percepatan edukasi dan moderasi melalui propaganda persatuan, sebagaimana kemerdekaan bangsa dicapai melalui persatuan.
“Edukasi dan moderasi untuk menuju persatuan di tengah perbedaan itu menjadi kekuatan utama kita dari dulu. Tanpa keduanya kita itu tidak akan pernah bisa merdeka dari segala tantangan yang ada. Entah korupsi, kemiskinan dan lain sebagainya,” ujar dia.
Setidaknya ada dua hal yang harus menjadi agenda pemerintah, sehingga tidak ada lagi anak bangsa yang kembali terjerat pada virus intoleransi dan radikalisme, untuk mewujudkan Indonesia yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Pertama, terus mewaspadai narasi-narasi intoleransi dan radikalisme yang ada di lingkungan sekitar. Karena narasi tersebut terus bertumbuh, corak propagandanya juga terus bertumbuh, bukan menyebarkan hoax tapi menyebarkan logical fallacy atau kesesatan dalam berpikir.
Kedua, membangun narasi-narasi yang ‘fresh’ tentang toleransi dan inklusivitas dalam beragama dan berbangsa. Sehingga pada akhirnya kesadaran toleransi dan inklusivitas serta moderasi anak bangsa terus bertumbuh, terperbarui, dan terjalin hubungan.
3 komentar