Ciptakan Kesantunan Bermedia Sosial dengan Penguatan Akhlak dan Nilai-Nilai Pancasila

Nasional638 Dilihat

JAKARTA – Media sosial bukan sekadar ruang berinteraksi, tetapi juga menjadi ruang ekspresi diri dan cara orang menampakkan diri. Postingan tulisan, gambar dan video di media sosial adalah bagian dari representasi diri.

Namun ekspresi diri dinilai kebablasan, ketika semua pihak menganggap media sosial sebagai ruang bebas miliknya untuk berbicara dan berpendapat termasuk menghakimi, mencaci, memprovokasi, sebar hoaks, ujaran kebencian, diskriminasi, perundungan (bullying) hingga kekerasan verbal yang memecah persatuan.

Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI), Muhammad Syauqillah, menilai hal tersebut sebagai fenomena yang memprihatinkan dan sangat jauh dari nilai budaya bangsa yang terkenal sebagai bangsa yang ramah, berakhlak dan sarat akan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya.

“Ini menjadi satu arus untuk kemudian kita membuat gerakan di media sosial menjadi sangat ramah. Itu perlu kita kedepankan. Akhlak terhadap orang lain, bagaimana akhlak terhadap orang yang berbeda pendapat, orang yang berbeda keyakinan dan juga termasuk kepada orang yang berbeda agama, yang mana semua itu sesuai dengan nilai-nilai dari Pancasila,” ujarnya di Jakarta, Selasa (27/9/2022).

Dirinya melanjutkan, Pancasila yang merupakan payung besar yang menaungi berbagai keragaman dengan jaminan kehidupan yang aman, sejahtera, adil dan makmur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun Pancasila sudah berulang kali untuk digoyahkan oleh berbagai isu khususnya di media sosial termasuk dari kelompok gerakan kanan.

“Kita masih sering melihat orang kampanye soal Khilafah, Daulah Islam, dan sebagainya. Menurut saya harus perlu disikapi bagaimana menghadapi yang menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,” katanya.

Untuk itu, para tokoh agama menurutnya memiliki peran dan pengaruh yang cukup strategis di bangsa untuk mempengaruhi pola pikir dan memberikan literasi keagamaan guna mengarahkan, membekali umat mencintai keurukunan dan persatuan khususnya di dunia maya.

“Marilah kita ciptakan tokoh-tokoh agama yang menaungi umat, menaungi bangsa dalam kerukunan dan persatuan,” kata dia.

Literasi keagamaan, perlu didorong di antara sesama anak bangsa, agar ketika masyarakat mendapati isu-isu yang muncul di media sosial, masyarakat memiliki daya tangkal untuk bisa memfilter. Tidak hanya literasi keagamaan, namun literasi baik dalam literasi bermedia sosial, serta literasi kognitif perlu digalakkan sebagai upaya mitigasi.

Ia menilai, menjelang tahun politik 2024 nanti, media sosial akan kembali menjadi platform yang efektif sebagai arena pertarungan politik yang berpotensi menimbulkan perpecahan.

Dengan menggunakan media sosial, tidak ada biaya yang tinggi. Cukup membuat konten, menghasut, menyebarkan kebencian, lalu melakukan intimidasi atas perbedaan pilihan politik.

“Ini kita tidak bisa lagi melakukan diskusi, tapi perlu kerja keras untuk mereduksi adanya upaya-upaya penggunaan media sosial mengkampanyekan intimidasi politik terhadap perbedaan politik,” ujar dia.

Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan guna mencegah penyalahgunaan penggunaan media sosial, sebagai alat untuk propaganda yang dapat menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat.

Pertama, publik harus diedukasi. Kedua, memperkuat civil society dengan pelibatan masyarakat. Ketiga, aparat penegak hukumnya harus tegas.

Walaupun peran pemerintah sudah cukup tegas, namun dewasa ini kondisi media sosial telah sampai pada arus pertumbuhan informasi yang luar biasa cepat dan banyak. Seperti kampanye kelompok radikal yang seakan mati satu tumbuh seribu. Sehingga perlu adanya payung hukum yang tegas.

“Perlu adanya payung hukum agar mati satu tumbuh seribu itu bisa kita hilangkan. Karena kalau begini terus satu sisi media sosialnya tumbuh dan berkembang ada berbagai macam kemanfaatan, tapi di sisi lain ada juga orang yang memanfaatkan untuk penyebaran ideologi kebencian,” ujar dia.

Dirinya berharap, kurasan energi masyarakat sebaiknya digunakan untuk perdebatan-perdebatan bagaimana memajukan bangsa, menciptakan daya saing, agar bisa bersaing dengan berbagai negara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar