JAKARTA – Pernyataan Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko soal radikalisme akan meningkat pada 2023 dan 2024 akibat politik identitas jelang Pemilu 2024, membuat sejumlah pihak bereaksi.
Pengamat politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun malah menantang Moeldoko untuk debat terbuka tentang radikalisme.
“Pak Moeldoko itu tidak mengerti. Saya tantang Pak Moeldoko diskusi soal politik identitas dan radikalisme,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (22/10/2022).
“Debat terbuka boleh, diskusi terbuka boleh. Saya tantang Pak Moeldoko (karena) kalau dia prediksi begitu, itu memperburuk suasana,” lanjutnya.
Ubed menjelaskan, dirinya berani berdebat bukan hanya karena Moeldoko tidak paham soal radikalisme, melainkan juga tak punya bukti empirik.
“Pak Moeldoko atau pemerintah mengatakan ada kampus-kampus radikal. Saya bertanya, ada nggak mahasiswa jadi teroris, ada nggak? Terus sekolah-sekolah radikal, pelajar ada nggak jadi teroris?” katanya.
Menurutnya, jika pemerintah menyebut ada banyak orang-orang radikal, lantas mengapa tidak ditangkap saja atas tuduhan teroris. Karena itu, Ubed menilai Moeldoko hanya membuat sebuah narasi untuk membangun imajinasi publik tentang radikalisme.
Terkait politik identitas, Ubed juga mempertanyakan tafsir Moeldoko. Sebab, terminologi politik identitas itu sangat multitafsir.
“Apakah setiap orang tidak boleh punya identitas dalam politik,” kata dia.
Ubed menyarankan agar pemerintah tidak lagi menghembuskan narasi politik identitas. Ia yakini ketika pemerintah berhenti bicara soal politik identitas, maka politik identitas itu juga berhenti.
“Semakin pemerintah berbicara, narasi itu akan semakin liar,” katanya.
Sebelumnya, Moeldoko menyebut radikalisme akan meningkat menjelang penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Hal itu didasarkan pada data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengenai tingkat radikalisme pada saat pandemi.
“Survei BNPT pada tahun 2020 potensi radikalisme 14 persen. Itu data dalam kondisi anomali saat pandemi. Tahun politik pada 2023-2024 ada kecenderungan meningkat,” katanya.
Menurut dia, peningkatan radikalisme dipicu dinamika politik. Begitu pula dengan politik identitas yang kemungkinan muncul jelang pemilu. Meski demikian, tak menjawab saat ditanya, apakah pemerintah melihat ada kelompok atau kandidat presiden yang akan memainkan isu tersebut.
Moeldoko hanya berkata kesadaran publik mengenai ancaman radikalisme perlu ditingkatkan.
“Ini sebenarnya sebuah situasi yang diperlukan untuk membangun awareness tentang radikalisme. Jadi, ini perlu kita announce agar kita semua memiliki awareness,” ujarnya.
Moeldoko membantah jika pemerintah sengaja melabeli sejumlah kelompok dengan cap radikalisme. Pemerintah punya standar yang jelas untuk menyatakan sebuah kelompok radikal.
“Seseorang dinyatakan masuk kelompok ini dan itu pasti ada standarnya, enggak mungkin asal-asalan,” katanya.