JAKARTA – Sosialisasi moderasi beragama selain melalui buku juga melalui media sosial. Karena media sosial hari ini dalam beberapa riset terakhir, paling banyak dan massif digunakan publik mengampanyekan hal-hal positif mulai dari persoalan pendidikan, perdagangan, wisata, dan sebagainya.
Demikian dikatakan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag, Suyitno, seperti dikutip website Kemenag, Minggu (18/12/202), saat peluncuran buku moderasi beragama berbahasa asing di Pelataran Candi Sewu, Desa Bugisan, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah.
Peluncuran buku tersebut bertujuan untuk mencegah paham radikal dan mewujudkan kerukunan.
“Hampir tidak ada satu pun bidang hari ini yang promote-nya tidak menggunakan media sosial. Hampir semua bidang, mulai yang positif sampai yang negative,” katanya.
Media sosial, lanjutnya, ibarat dua mata pisau, ada sisi positif yang harus digunakan karena sangat efektif, tapi tidak jarang digunakan oleh kelompok yang anti mainstream untuk kepentingan negatif, termasuk digunakan untuk kepentingan isu-isu intoleransi, radikalisme, dan sejenisnya.
“Karena tugas kita dan Kementerian Agama sangat konsen di bidang ini, kita harus sudah saatnya melakukan counter issue, promote, dengan berbagai cara. Baik dalam bentuk artikel, komik, cerita, buku, apa pun produk itu,” kata dia.
“Sudah saatnya kita hadirkan ke media sosial yang jumlah penduduk media sosial jauh lebih responsif, lebih kritis, dibanding penduduk dunia nyata,” tambahnya.
Karenanya Kemenag memandang perlu terus menerus hadir di dunia maya, terus mengisi sekian banyak layanan di media sosial dalam rangka mengimbangi.
Kepala Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Kemenag, M. Arfi Hatim, menyampaikan, moderasi beragama merupakan kunci bagi terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun international atau global.
Ada berbagai cara dan media untuk penguatan moderasi beragama, baik secara internal maupun eksternal. Salah satunya kegiatan penguatan moderasi beragama melalui ‘Peluncuran dan Diseminasi Buku Moderasi Beragama Bahasa Asing’ yang telah diterjemahkan sebagai panduan kebijakan mengarusutamakan cara beragama yang moderat.
“Serta menjadi bagian dari strategi dalam mempromosikan moderasi beragama baik di tingkat nasional maupun internasional,” ujarnya.
Arfi Hatim berharap, penerjemahan empat buku ke dalam Bahasa asing yakni, Jerman, Prancis, Belanda, dan Jepang tidak hanya sampai pada tahap penerjemahannya belaka. Namun yang paling urgen dan subtansial adalah bagaimana buku-buku tersebut yang telah diterjemahkan mendapatkan masukan atau perbandingan terhadap religious moderation dari masing-masing agama.
“Artinya setelah kita menerjemahkan, tidak selesai sampai di situ, tapi ada beberapa tahapan kegiatan-kegiatan selanjutnya agar buku ini di mana Indonesia sebagai salah satu negara teladan bagi dunia yang mampu mengelola kemajemukan,” katanya.