BNPT dan Mitra Deradikalisasi Samakan Konsep Perbedaan di Tengah Kemajemukan Indonesia

Nasional1642 Dilihat

PALEMBANG – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus melakukan penguatan program deradikalisasi, terutama dengan menggunakan pendekatan dari hati ke hati. Hal itu sesuai pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melantik Kepala BNPT RI, Komjen Pol. Rycko Amelza Dahniel di Istana Presiden, Jakarta, Senin (3/4/2023).

Subdit Bina Masyarakat, Direktorat Deradikalisasi BNPT langsung mengejewantahkan pesan ini dengan menggelar silaturahmi sambil berbuka puasa bersama dengan mitra deradikalisasi atau mantan narapindana kasus terorisme (napiter) di Palembang, Jumat (7/4/2023).

Pada pertemuan itu, Kasubdit Bina Masyarakat BNPT RI, Kolonel Pas Sujatmiko, mengajak para mitra deradikalisasi berdialog untuk menyamakan konsep perbedaan di tengah kemajemukan Indonesia.

“Kita sering menyamakan ideologi itu dengan wahyu Ilahi, padahal wahyu Ilahi sangat agung, sangat tinggi, dan wahyu Ilahi tidak hanya mengenai Islam saja,” ujarnya.

Sujatmiko menjelaskan, jangan sampai memiliki pemikiran yang berbeda, lalu merasa benar sendiri dan menjadi eksklusif, karena hal itu dapat memunculkan sifat sombong dalam diri manusia.

“Manakala kita mencari kebenaran, dan kita benar-benar yakin akan kebenaran tersebut, lalu kita merasa benar sendiri, akhirnya muncullah kesombongan, sedangkan kesombongan adalah jebakan iblis,” katanya.

Sujatmiko mengajak para mitra deradikalisasi jangan sampai salah jalan lagi. Karena itu, dialog dan diskusi ini penting untuk terus dilakukan agar mereka memiliki pemahaman yang lebih luas dan lebih terbuka.

“Jangan sampai kita melakukan sesuatu yang kita anggap sebagai kebaikan, ternyata suatu kerusakan. Setiap perbedaan yang kita temui, kita bicarakan secara akademis dan mengakar. Kalau masih ada yang mengganjal di diri kita semua, mari kita kupas semua bersama-sama,” katanya.

Pada kesempatan itu, Kasubdit Bina Masyarakat menyampaikan empat poin penting tentang proses radikalisasi, bentuk radikalisasi, alasan terjadinya radikalisasi, dan indikator radikalisasi.

Poin pertama, Kasubdit Bina Masyarakat memberi pesan bahwa harus mengingat proses radikalisasi di Republik Indonesia sampai sekarang masih berjalan. Ciri-ciri proses radikalisasi antara lain anti ideologi negara atau Pancasila, anti NKRI, anti Bhinneka Tunggal Ika, dan anti UUD 1945.

“Radikalisasi tersebut berbentuk intoleran, mengusung kekerasan, dan mengkafirkan orang lain,” tutur Sujatmiko mengungkapkan poin kedua.

Kemudian dalam poin ketiga, berdasarkan hasil penelitian terhadap napiter di Indonesia, presentease paling tinggi mengapa napiter melakukan tindak pidana terorisme (proses radikalisasi) sebanyak 45,45 persen ialah karena alasan ideologi.

Sedangkan poin terakhir mengenai indikator proses radikalisasi adalah ajaran agama yang distorsi dan pengetahuan agama yang dangkal.

“Radikalisasi yang selama ini terjadi ditandai dengan agama didistorsi dan dimanipulasi untuk kepentingan kelompok dan kepentingan politik. Tidak ada kejahatan yang luar biasa, selain mendistorsi dan memanipulasi agama yang menimbulkan kerusakan. Bukan agama yang salah, tetapi orang yang mendistrosi atau memanipulasi agama,” ujar Sujatmiko.

Kasubdit Bina Masyarakat pun mengajak perwakilan instansi yang hadir agar di lapangan selalu bersama-sama bersinergi, kompak, saling memberi masukan, saling memberi informasi untuk kebaikan dan tujuan bersama.

Salah satu mitra deradikalisasi berharap, kedepannya negara dapat memberikan pembinaan tentang kebangsaan dan dasar-dasar hukum Islam secara lebih intensif. Ini penting agar mitra deradikalisasi dapat menjadi pribadi yang lebih positif dan kontributif.

Baginya, silaturahmi dan dialog seperti ini harus dilanjutkan dengan penerapan program pembinaan intensif dengan menggunakan kurikulum materi yang lebih komprehensif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *