KUPANG – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ( BNPT ) menargetkan sebelum tahun 2024, Nusa Tenggara Timur (NTT) harus tuntas dalam urusan terorisme dan bibit radikalisme.
BNPT menyebut adanya trend kenaikan potensi radikalisme di Provinsi NTT dari 2020 hingga 2022. Acuan itu bersumber dari hasil riset, yang mana akan digunakan juga dalam membersihkan terorisme dan paham radikal.
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) NTT, Yohanes Oktovianus, mengatakan berkembangnya radikalisme di Indonesia tengah ditekan terutama di masa pergantian kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden.
Isu ini sebelumnya kurang menjadi sorotan, kata dia, beberapa tahun belakangan. Koordinasi selama ini sudah dilakukan dengan pemerintah kabupaten atau kota yang terendus adanya gerakan radikalisme.
“Memang ada dan kita selesaikan. Tahun depan tidak ada lagi. Tahun depan harus turun dan kita buka borok itu dan kita sembuhkan,” kata dia di Kupang, Rabu (19/4/2023).
BNPT sebelumnya mengeluarkan data Indeks Potensi Radikalisme di NTT mencapai 5,4 persen di 2022 atau naik dari 4,5 di tahun 2020. Namun begitu tingkat radikalisme di NTT ini masih termasuk 5 provinsi terendah.
Penggunaan media sosial menyebar konten sesat seperti WhatsApp adalah paling tinggi di NTT yaitu sebesar 78 persen. Setelahnya diikuti Facebook 65,0 persen, YouTube 19,0 persen, Twitter 16,0 persen, Instagram 8,0 persen.
Menurut Oktovianus, data dari BNPT ini juga merangkum pula gerakan radikalisme yang telah berhasil diredam beberapa tahun belakangan.
Ia menyebut gerakan radikalisme terutama di Labuan Bajo telah dicegah sebelum meluas di NTT. Memang setelah kasus tersebut diekspos maka menjadi pertimbangan atau penilaian bagi NTT untuk lebih waspada.
Ia juga mencontohkan aliran Yehova yang juga sempat masuk ke Kota Kupang beberapa waktu lalu dan menimbulkan gejolak di masyarakat.
“Ini yang memicu kenaikan nilai radikalisme,” kata dia.
Masyarakat juga perlu mengetahui bahwa pihak intelejen dan kepolisian selalu mengawasi secara senyap pergerakan aliran kepercayaan yang berbahaya di NTT.
Riset yang dilakukan BNPT dibenarkannya dan telah berkoordinasi dengan tim riset FKPT maupun stakeholder lainnya di wilayah NTT. Data yang ada ini juga menunjukkan bahwa semua potensi radikalisme ini selalu dipantau oleh pemerintah.
Informasi yang telah ada ini pun memang untuk perlu diketahui publik bukannya didiamkan lalu seperti fenomena gunung es agar lebih bisa diantisipasi.
“Jangan sampai jadi borok. Diam-diam, tau-tau sudah meledak,” kata Oktovianus.
Kerukunan umat beragama adalah satu-satunya instrumen yang perlu ditingkatkan, sebut dia, sekalipun di NTT sebagai daerah paling toleran di Indonesia.
Sementara pihak berwenang sendiri selalu bergerak senyap di lapangan untuk meredam berkembangnya potensi-potensi radikalisme di NTT.
“Sudah banyak yang kita selesaikan. Contohnya di Manggarai, Ruteng, sudah diselesaikan. Nantinya jadi bahan pembicaraan atau disebut ada potensi tapi yang terpenting itu terselesaikan,” katanya.
Sebelumnya, Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat BNPT, Kolonel Rahmad Suhendro menyampaikan data naiknya potensi radikalisme ini saat berada Kota Kupang.
Hasil riset ini didapatkan melalui metode wawancara di 8 kabupaten dan kota di NTT yang menunjukkan paham radikal mencolok seperti yang dianut Al-Qaeda dan ISIS. Hasilnya telah dimasukkan langsung dalam database ke pusat secara digital.
“Ini mudah-mudahan di riset berikutnya di 2023 ini hasilnya turun dengan sosialisasi, edukasi, mudah-mudahan bisa turun,” kata dia.
Pengamat Intelijen dan Keamanan Negara, Dr Stepi Ariani secara terpisah mengatakan, pola perekrutan kini oleh ISIS lebih modern dan menggunakan media sosial. Begitu juga penyebaran paham radikal mereka dilakukan melalui media sosial.
ISIS tidak mempunyai aturan baku anggotanya harus menguasai Al-Qur’an. Septi menyebut anggota ISIS pun sangat dapat berasal dari kaum non muslim.
“ISIS ini lebih sporadis dan mereka juga merekrut perempuan yang penampilannya non muslim juga. Dia cari yang orang barat dengan rambut pirang dan bermata biru,” jelasnya.
Awalnya terorisme yang berlangsung global dikenal dari Taliban, lalu Al-Qaeda, kemudian ISIS dan muncul Neo Taliban dua tahun lalu saat Covid-19. Indonesia sendiri menjadi sasaran rekrutmen anggota sebagai teroris.
Dulunya perekrutan kaum teroris ini dilakukan dengan metode yang terbilang ortodoks yaitu berdasarkan tingkat pemahaman agama.
Untuk itu Indonesia perlu membentengi kaum perempuan yang bisa menghalau ajakan sesat ini. Menurutnya, perempuan bisa membentengi keluarga terutama anak-anak dan dirinya sendiri terhadap paham intoleransi.
Gerakan terorisme sendiri, sambung Septi, tidak berhubungan dengan agama karena Islam dasarnya bukan mengajarkan kebencian. Akan tetapi ISIS dalam ajakan perangnya ingin perempuan terlibat bahkan membunuh anak-anak untuk kepentingan mereka.
Bukan semata dengan perspektif agama, Indonesia akan dirugikan dengan konflik yang ada di Timur Tengah bila permasalahan itu tidak dilihat lebih luas. Arab Saudi dan Mesir misalnya, lanjut Septi, terbuka dengan Amerika Serikat dalam hal politik dan bisnis.
“Justru di Palestina ada seorang pastor yang baik bilang kalau tidak bisa adzan di masjid – karena masjid dibom – bisa gunakan gereja. Itu ya, di Palestina ada nasrani, ada muslim dan yahudi,” ujarnya.
Ia mengajak masyarakat untuk tidak melihat hal-hal yang disangkutpautkan dengan agama tanpa dianalisis lebih dengan cara yang berpendidikan.
“Tidak semua berita yang ada di Tiktok, di medsos itu, tidak semuanya benar,” kata Septi.