SEMARANG – Maraknya narasi keagamaan yang keliru di media sosial, bisa menjadi salah satu akar dari radikalisme berbasis agama.
Narasi keagamaan yang keliru seringkali menyebar dengan cepat dan luas di media sosial dan dapat mempengaruhi pemaham agama seseorang secara negatif.
Untuk itulah, generasi muda harus paham bagaimana cara kelompok radikal melakukan aksinya dan harus tahu, bagaimana mencegah terjadinya penyebaran narasi keagamaan yang keliru itu dan mengurangi dampak dari aksi kelompok radikal di dunia maya.
Hal itu diungkap Ketua Lakpesdam PBNU, Ulil Abshar Abdalla, saat Pengukuhan Duta Damai Santri dan Regenerasi Duta Damai Dunia Maya Regional Jawa Tengah, di Semarang, Kamis (15/6/2023).
“Peran generasi muda di dalam menghadapi narasi keberagamaan yang radikal yang paling utama adalah memahami bagaimana cara kerja kelompok ini,” ujarnya.
Menurut Gus Ulil, kaum millenial tidak akan bisa menanggapi ideologi radikal, jika tidak memahami cara kerja kelompok tersebut berselancar di dunia maya.
“Setelah kita tahu dan paham, kita baru bisa merumuskan narasi tandingan. Narasi tandingan ini sebetulnya narasi yang tidak berangkat dari nol, karena narasi tandingan ini praktek keagamaan dan praktek dakwah yang sudah berlangsung di Indonesia selama beradab-abad,” katanya.
Namun pada kenyataannya, masih banyak generasi muda termasuk para santri yang hanya menjadi pengguna media sosial yang pasif, padahal mereka memiliki ilmu agama yang cukup.
Dirinya mengungkapkan, bahwa santri memiliki ilmu yang banyak dan bagus karena mereka belajar ilmu Islam dari para Kiyai, namun memiliki beberapa kekurangan.
“Kelemahan para santri mereka kurang artikulatif, kurang banyak menulis, kurang banyak membuat dan memproduksi konten dan juga kurang canggih memahami bahasa komunikasi saat ini,” kata dia.
Pria yang melanjutkan sekolah di Harvard University ini menyampaikan bahwa generasi muda dan para santri perlu memperkuat kemampuan komunikasi.
“Padahal para santri memiliki ilmunya, jadi tinggal memoles tekniknya saja,” ujarnya.
Pihaknya berharap setelah mengikuti kegiatan pelatihan ini, generasi muda termasuk para santri khususnya di daerah Jawa Tengah ini memiliki kemampuan dan terus meningkatkan keahlian yang mereka miliki.
“Saya berharap setelah mengikuti pelatihan ini mereka menjadi generasi muda yang punya skill teknis yang mumpuni sehingga bisa menyampaikan ajaran-ajaran Islam yg rahmatan lil alamin sesuai dengan bahasa sekarang,” katanya.
Gus Ulil juga menyampaikan akar penyebab radikalisme berbasis agama sangat kompleks dan ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kemunculannya.
Karena itu, radikalisme berbasis agama tidak bisa dipisahkan dari konteks masyarakat modern dengan seluruh karakteristik masyarakat.
Ia mengungkapkan faktor yang berkontribusi terhadap munculnya radikalisme berbasis agama antara lain tekanan politik, solidaritas agama, budaya keagamaan masyarakat, kebijakan pemerintah, dan pendidikan.
“Faktor-faktor tersebut dapat menciptakan rasa marginalisasi, frustrasi, dan keputusasaan yang dapat menyebabkan individu menganut ideologi radikal,” kata Gus Ulil.
Selain itu, lanjutnya, agama dapat digunakan sebagai alat untuk membenarkan tindakan kekerasan dan mendapatkan dukungan dari orang lain yang memiliki keyakinan yang sama.
Penyebaran ideologi ekstremis melalui media sosial dan platform daring lainnya juga berkontribusi terhadap munculnya radikalisme berbasis agama.
Menurutnya, untuk mengatasi masalah radikalisme berbasis agama, penting untuk mengatasi akar penyebabnya dan mempromosikan pendidikan, toleransi, dan pemahaman.
“Hal ini dapat dicapai melalui inisiatif yang mempromosikan dialog antaragama, memberikan peluang sosial dan ekonomi bagi komunitas yang terpinggirkan, dan melawan narasi ekstremis secara online dan offline,” tutupnya.