MAKASSAR – Penggunaan istilah hijrah menjadi cukup tenar saat ini, khususnya di kalangan generasi muda atau dikenal dengan istilah hijrah milenial.
Mereka berusaha mengaitkan hijrahnya Rasulullah SAW dengan upaya pribadinya dalam peningkatan pengamalan agama. Namun banyak justru generasi muda yang salah kaprah menafsirkan makna hijrah.
Dosen UIN Alauddin Makassar, Abdul Rauf Muhammad Amin, memiliki pandangan bahwa hijrah yang dilakukan seseorang harus memiliki pemaknaan yang kontekstual.
Hijrah, kata dia, tidak bisa dipandang secara hitam putih, misalnya dengan mengartikannya sebagai perpindahan tempat semata. Hijrah itu harus substansial, bisa membawa pelakunya dari keburukan pada kebaikan.
“Tapi itu sekali lagi tergantung pada cara berpikir. Terkadang anak-anak milenial itu memaknai hijrah perspektif yang konservatif,” ujarnya di Makassar, Senin (24/7/2023).
Ia menambahkan, terminologi hijrah dalam Islam harus dimaknai secara kontekstual. Maksudnya adalah hijrah itu harus mengakomodasi tiga hal, antara lain adalah wahyu, reason/akal pikiran, dan realitas.
Kalau bisa mengombinasikan tiga hal ini untuk memahami Islam, maka akan sangat powerful untuk memperbaiki kualitas keagamaan.
Hijrah juga, lanjutnya, harus dimaknai sebagai perjalanan spiritual dan mentalitas sehingga dapat membawa seseorang memahami konsep moderasi beragama.
“Hijrah itu adalah perubahan pola pikir dari Islam yang radikal dan ekstrim, menjadi Islam yang moderat. Islam yang moderat itulah yang sebenarnya dikehendaki dalam Islam. Ini yang membutuhkan narasi-narasi yang sustainable agar bisa mengurangi terjadinya tren radikalisme,” kata dia.
Ia menekankan pada generasi muda, tentang pentingnya untuk tidak melakukan apa yang disebut sebagai truth claim atau klaim kebenaran.
Adanya klaim kebenaran secara sepihak sebenarnya menunjukkan kurangnya ilmu di dalam memahami Islam.
Oleh karena itu, perbanyaklah belajar sehingga bisa mengkontekstualisasikan Islam dalam kehidupan nyata.
Rauf juga menyoroti pentingnya mendapatkan panduan beragama yang valid dan aman. Hal ini bisa dilakukan dengan mempelajari track record dari dai yang diikuti, apakah moderat atau tidak.
Sangat disayangkan apabila dai yang dijadikan panutan justru mengajarkan intoleransi yang sebenarnya jauh dari nilai-nilai keislaman itu sendiri.
Beredarnya banyak kajian di internet yang di isi oleh beragam dai seharusnya membuat seseorang menjadi lebih selektif dalam mencari pelajaran agama.
“Kesalahan dalam memilih guru bisa membentuk dan mengkonstruksi pemahaman beragama menjadi pemahaman yang radikal. Kalau hanya belajar di internet, potensial sekali untuk melenceng dari pemahaman beragama yang sebenarnya,” jelasnya.
Penulis buku “Implementasi Maqasid Syariah dalam Perspektif Kontemporer” ini menekankan bahwa para dai juga memiliki peranan penting dalam memahamkan hijrah secara benar pada masyarakat.
Para dai harus bisa menjadi sosok yang solutif dalam menjawab berbagai permasalahan umat. Dai yang berhasil melakukan kontekstualisasi Islam adalah yang dapat menjadi penolong di tengah sempitnya pemahaman beragama.
“Termasuk para dai ini sebenarnya punya dua problem. Di samping dia harus memperbaiki diri dan pemahamannya, dia juga harus menarasikan pemikiran dan pemahaman yang baik kepada masyarakat. Jangan sampai seorang dai malah jadi bagian dari masalah, tapi dia justru harus bisa jadi solusi dari masalah itu sendiri,” kata Rauf mengakhiri.