JAKARTA – Panglima TNI, Laksamana Yudo Margono, mengatakan pihaknya siap untuk dievaluasi setelah Kepala Basarnas, Marsdya Henri Alfiandi, ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Hal tersebut menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang akan mengevaluasi penempatan perwira TNI di jabatan sipil.
“Saya belum dipanggil, tentunya siap untuk dilaksanakan evaluasi, kalau itu memang yang terbaik melaksanakan evaluasi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Menurut dia, evaluasi memang harus dilakukan. Terutama setelah kasus dugaan korupsi yang menjerat Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka.
“Nanti dengan adanya kasus seperti ini akan dievaluasi, pasti semua hal yang selalu terjadi seperti ini harus dievaluasi,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan, pihaknya bakal mengevaluasi penempatan para Perwira Tinggi (Pati) di lembaga sipil.
“Semuanya akan dievaluasi, tidak hanya masalah itu (penempatan perwira tinggi TNI di lembaga sipil),” ujarnya di Jakarta, Senin (31/7/2023).
Menurut Jokowi, evalusi secara menyeluruh akan dilakukan, agar tidak ada lagi praktik penyelewengan dan korupsi di lembaga-lembaga strategis.
“Semuanya (akan dievaluasi), karena kita tidak mau lagi di tempat-tempat yang sangat penting terjadi penyelewengan, terjadi korupsi,” katanya.
Jokowi menambahkan, perlu ada koordinasi antara instansi-instansi terkait dalam proses penegakan hukum kasus dugaan suap di Basarnas tersebut.
Ia meyakini bahwa tidak ada masalah yang akan timbul jika koordinasi dilakukan.
“Menurut saya, masalah koordinasi ya, masalah koordinasi yang harus dilakukan semua instansi sesuai dengan kewenangan masing-masing menurut aturan. Sudah, kalau itu dilakukan, rampung,” kata Jokowi.
Sekadar diketahui, Henri Alfiandi sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan sejumlah proyek di Basarnas hingga Rp 88,3 miliar sejak 2021-2023.
Namun, polemik muncul setelahnya. Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI merasa, Henri yang berstatus prajurit TNI aktif mestinya diproses hukum oleh mereka, bukan oleh KPK kendati kepala Basarnas adalah jabatan sipil.
KPK akhirnya menyerahkan kasus yang diduga melibatkan Henri Alfiandi ke Puspom TNI.
Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, mengatakan, polemik TNI dan KPK tersebut menghidupkan kembali status anggota TNI sebagai warga negara kelas satu dan merupakan wujud inkonsistensi kebijakan.
“Prajurit TNI aktif boleh duduk di jabatan sipil, tapi ketika korupsi tidak mau tunduk pada hukum sipil. Ini inkonsistensi kebijakan,” lanjutnya.