JAKARTA – Media sosial menjadi tempat yang subur bagi narasi intoleransi dan ujaran kebencian, terutama menjelang tahun politik. Karena masyarakat selalu berhati-hati saat beraktivitas di media sosial. Apalagi media sosial menjadi ladang penyebaran radikalisasi berjubah agama. Buktinya, banyak terjadi self radicalization di internet yang menimbulkan bibit lone wolf teroris yang berbahaya bagi bangsa dan negara.
Oleh karenanya, membangun kesiapsiagaan digital dalam bentuk daya tangkal yang kuat, deteksi dini, dan resistensi terhadap konten radikalisme di media sosial sangat penting untuk ditanamkan kepada generasi bangsa.
Konsultan Komunikasi dan Pakar Media Sosial, Rulli Nasrullah, menjelaskan fenomena yang dapat merubah perilaku di media sosial.
Menurutnya kasus penipuan, radikalisme dan terorisme itu dilakukan dengan pendekatan persuasive, tidak hard selling. Ketika pengguna sudah merasa nyaman, maka ditanamkanlah ide, video dan pendekatan secara perlahan.
“Setelah itu next step-nya dimasukkan dalam grup-grup diskusi seperti WhatsApp, Telegram atau messaging yang lain, dan kemudian informasi yang lebih personal,” ujarnya di Jakarta, Senin (7/8/2023).
Kang Arul menekankan, karakter dan tingkat literasi media individu berperan penting untuk menyaring referensi yang dibaca, mengingat algoritma dalam internet cenderung akan memberikan referensi sesuai dengan apa yang sering dibaca.
Jika seseorang suka dengan konten konten keras, radikal terorisme dan kebencian maka dengan sendirinya referensi yang muncul akan konten konten sejenis. Namun terkadang, individu itu sendiri yang kurang cakap untuk menyaring filter yang negatif.
Oleh karena itu, Kang Arul menilai pentingnya komunikasi orang tua kepada anak, adik kepada kakak, atau sesama teman untuk saling mengingatkan dan mendorong penggunaan media sosial dalam hal yang positif.
“Komunikasi untuk meyakinkan bahwa di media sosial itu ini pasar ide bebas, anda bisa mendapatkan banyak hal, bisa mendapatkan mulai dari yang positif dan negatif,” kata dia.
Selain itu, penulis buku Teori dan Riset Media Siber (Cybermedia) ini juga menambahkan, kondisi emosional seseorang berperan penting terhadap referensi yang dilihatnya.
Terkadang orang yang mengakses media sosial dalam situasi yang tidak normal, sehingga dengan logika waktu cepat, dia tidak dapat memfilter atau melakukan verifikasi informasi terhadap orang lain atau media massa.
Ketika sudah mengakses suatu konten, maka seolah-olah itu adalah informasi yang benar. Hal inilah yang membuat maraknya hoax dan misinformasi.
“Pulang kerja (lelah), ada masalah, baik itu di kantor, di rumah, ada masalah dengan teman, dengan pasangan, segala macam. Jadi ketika mengakses itu, emosinya lagi tinggi, dapatlah dengan situasi seperti itu,” katanya.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga mengapresiasi kehadiran BNPT melalui Duta Damai dan Duta Damai Santri yang tersebar di 18 provinsi.
Menurutnya, langkah ini perlu dikembangkan ke seluruh provinsi Indonesia agar dapat mengisi ruang digital dengan pesan damai dan hal yang positif.
Minimal setiap relawan Duta Damai maupun Duta Santri mampu memberikan aura terhadap teman-teman, keluarga dan lingkungannya. Dengan begitu, gerakan ini setidaknya mampu mendukung tiga unsur penting dalam literasi digital.
“Tiga kecakapan ini akan terpenuhi, pertama kecakapan dalam penggunaan media digital, kedua adalah kecakapan dalam budaya digital, dan kecakapan dalam keamanan digital,” ujarnya.