JAKARTA – Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), saat ini sekitar 300 WNI perempuan dan anak yang berada di kamp-kamp di Suriah timur dan hingga kini belum jelas nasib mereka. Mereka terdiri dari 181 perempuan dan 145 anak
Dikutip dari Antara, Kamis (7/9/2023), Kepala Satuan Tugas Foreign Terrorist Fighter (FTF) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Didik Novi Rahmanto, menyampaikan adanya beberapa masalah terkait repatriasi (perempuan) perempuan dan anak yang terasosiasi FTF. Sebab masih menimbulkan pro dan kontra terkait dengan aspek hukum, proses deradikalisasi, serta kemauan politik.
Dari aspek hukum, mereka tetap masuk kategori melanggar pidana menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme karena pada prinsipnya mereka adalah orang yang terasosiasi.
Demikian dikatakan Didik dalam diskusi tentang “Repatriasi dalam Penanganan Perempuan dan Anak Terasosiasi Foreign Terrorist Fighter (FTF)” yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) di Jakarta, Selasa (5/9/2023).
“Ketika mereka dipulangkan dan kemudian dilakukan proses penegakan hukum di Indonesia, aparat penegak hukum memerlukan barang bukti yang kuat. Dari aspek politik, terdapat pihak yang kontra yang beralasan bahwa kepergian mereka ke luar negeri merupakan kehendak sendiri. Dengan demikian, mereka tidak perlu dipulangkan karena tidak ada alasan untuk itu,” ujar Didik.
Meski demikian, dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Nomor 90 Tahun 2023 tentang Satgas Pengamanan Penanggulangan WNI di Luar Negeri, Satgas FTF dapat mengambil langkah untuk mempersiapkan bila nantinya pemerintah RI memutuskan memulangkan mereka, karena terdapat tekanan internasional yang kuat dari dunia internasional agar Indonesia melakukan repatriasi.
Pada kesempatan itu, Tim Ahli Dewan Pertimbangan Presiden, Sri Yunanto, mengatakan ada yang perlu dikaji tentang keuntungan dan kerugian dilakukannya repatriasi atau tidak dilakukannya repatriasi.
Salah satu kerugiannya adalah Indonesia mendapat sanksi dari dunia internasional, sehingga hal itu perlu diterangkan sampai konkret sebagai pertimbangan kepada pemerintah, ujar dia.
Masalah tersebut juga dibenarkan oleh psikolog forensik, Zora A Sukardi, menyebut pemulangan (repartriasi) perempuan dan anak warga negara Indonesia yang terasosiasi dengan kelompok teroris di luar negeri atau Foreign Terrorist Fighter (FTF) masih menimbulkan pro dan kontra.
“Hingga saat ini, masih terus muncul pro dan kontra terkait pemulangan atau repatriasi perempuan dan anak terasosiasi FTF (foreign terrorist fighter),” katanya.
“Pertanyaannya adalah apakah kita mau pulangkan atau biarkan saja di sana? Kalau kontranya mereka dianggap virus. Seorang yang sudah pernah terekspos dunia perang, kalau pulang apa efeknya? Kita di dalam negeri saja pendidikan Pancasilanya belum optimal. Di sisi pro, kita tidak bisa membuat orang itu terlantar atau stateless (tanpa kewarganegaraan),” lanjut Zora.
Menurut Zora, hal-hal yang diperdebatkan adalah terkait status hukum perempuan dan anak apakah sebagai pelaku atau korban. Dari perdebatan sejauh ini, semua sepakat bahwa anak diidentifikasi sebagai korban.
Namun, tidak semua pihak mendukung perempuan ditempatkan sebagai korban karena mereka dinilai memiliki daya untuk mengatakan tidak.
Selama ini, lanjut Zora, kelompok masyarakat sipil yang bergerak di dunia terorisme selalu optimistis bahwa mereka memiliki kapasitas untuk bisa menerima, menampung, dan memberdayakan perempuan dan anak yang terasosiasi FTF.
Bila memutuskan untuk memulangkan mereka, maka harus disiapkan mekanisme penilaian risiko, melakukan rehabilitasi, dan deradikalisasi serta membuat tempat penampungan bagi mereka.
Kepala Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI, Muhammad Syauqillah, mengatakan kerentanan yang dihadapi Indonesia FTF adalah masih adanya aliran dana dari Indonesia ke mereka yang berada di Suriah.
Selain itu, hingga saat ini masih terdapat jalur tradisional di perbatasan Turki dengan Suriah yang memungkinkan FTF keluar dan masuk. Hal itu turut membuka kemungkinan peluang bagi mereka untuk kembali ke Indonesia karena memiliki uang.
“Mitigasi apa yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia, baik yang berkenaan dengan perempuan maupun anak, tetapi juga yang dewasa. Kalau pemerintah saat ini tidak mampu memutuskan, setidaknya melakukan asesmen,” kata Syauqillah.