JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI, Aboe Bakar Alhabsy, menolak usulan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) RI agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia.
“Apalagi jika usulan itu dengan tujuan agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme. Ini seolah menuduh bahwa tempat ibadah adalah sarang terorisme. Pasti ini akan menyinggung kalangan umat beragama,” ujarnya di Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Ia menambahkan, kalau ada oknum yang terlibat terorisme, pemerintah tidak boleh menggeneralisir.
“Misalkan saja kemarin ada tiga anggota polisi, satu dari Polda Metro Jaya dan dua polisi dari polda lainnya ditangkap lantaran diduga terlibat jaringan teroris di Bekasi. Apakah kemudian BNPT akan mengawasi semua kantor Polisi yang ada di Indonesia?,” katanya.
“Kalau pemikiran pakai pukul rata, logika kita akan rusak. Oleh karena itu, persoalan terorisme harus dikelola secara proporsional dan profesional,” lanjutnya.
Oleh karena itu, ia berharap BNPT melakukan klarifikasi dan meluruskan usulan tersebut, sehingga tidak menimbukan polemik di masyarakat.
“Saya berharap BNPT segera mengklarifikasi atau meluruskan usulan tersebut. Jangan sampai itu membuat kegaduhan publik,” katanya.
Usulan BNPT RI Soal Kontrol Rumah Ibadah
Sebelumnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel, telah menjelaskan pandangan utuhnya terkait usulan mekanisme kontrol rumah ibadah sebagai upaya mencegah radikalisasi.
Kepala BNPT RI mengusulkan adanya sebuah mekanisme kontrol rumah ibadah dalam rapat bersama Komisi III DPR RI pada Senin (4/9/2023).
Rycko menerangkan, mekanisme kontrol di tempat ibadah ini diusulkan dengan menekankan pentingnya melibatkan masyarakat setempat dalam pengawasan, bukan kontrol penuh dan sepihak oleh pemerintah.
Dipaparkan Rycko, mekanisme kontrol ini tidak mengharuskan pemerintah mengambil kendali langsung, melainkan mekanisme yang dapat tumbuh dari pemerintah dan masyarakat.
Ia menjelaskan, bahwa pengurus masjid dan tokoh agama setempat bisa berperan dengan melaporkan aktivitas atau ajaran yang berpotensi radikal.
Pendekatan yang diusulkan adalah melibatkan tokoh agama dan masyarakat setempat dalam memantau dan memberikan peringatan kepada individu yang terlibat dalam penyebaran pesan kebencian dan kekerasan.
Rycko juga menekankan bahwa pemerintah sendiri tidak akan sanggup mengontrol semua tempat ibadah.
“Dari tokoh-tokoh agama setempat, atau masyarakat yang mengetahui ada tempat-tempat ibadah digunakan untuk menyebarkan rasa kebencian, menyebarkan kekerasaan, itu harus disetop,” katanya.
Selanjutnya, mereka yang terindikasi menebar gagasan kekerasan dan anti moderasi beragama bisa dipanggil, diberikan edukasi, diberikan pemahaman, ditegur serta diperingatkan oleh aparat setempat. Apabila terjadi perlawanan atau mengulangi hal yang sama maka masyarakat dapat menindaklanjuti dengan menghubungi aparat.
“Kalau pemerintah yang mengontrol tak akan sanggup,” kata Rycko.
BNPT telah melakukan studi banding ke negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Maroko yang menerapkan kendali langsung oleh pemerintah terhadap tempat ibadah.
Namun, Rycko menyadari bahwa situasi di Indonesia berbeda. Oleh karena itu, ia mengusulkan mekanisme kontrol yang bersifat kolaboratif dengan masyarakat setempat seperti tokoh agama, tokoh adat dan tokoh budaya sebagai alternatif yang lebih cocok untuk konteks Indonesia.
Kepala BNPT sendiri mengusulkan mekanisme moderasi beragama di rumah ibadah saat menanggapi pernyataan anggota Komisi III DPR RI, Irjen Pol (Purn) H. Safaruddin, yang menyinggung adanya karyawan PT KAI yang terpapar paham radikalisme beberapa waktu lalu.
Safaruddin juga mengatakan terdapat sebuah masjid yang berada di kawasan Pertamina Balikpapan, Kalimantan Timur, yang kerap kali konten dakwahnya mengkritik pemerintah.
“Di Kalimantan Timur itu ada di Balikpapan itu Pak, itu masjidnya Pertamina tapi tiap hari mengkritik pemerintah di situ Pak,” kata Safaruddin.
Usulan mekanisme kontrol yang digagas Kepala BNPT RI bertujuan untuk menghormati nilai-nilai agama yang mengedepankan perdamaian, toleransi, dan kasih sayang.
Seperti diketahui, konten pesan radikalisme bertentangan dengan prinsip-prinsip moderasi dalam agama. Mekanisme ini akan membantu memastikan bahwa isi pesan yang disampaikan di tempat ibadah sesuai dengan ajaran agama yang menekankan kedamaian dan menghindari penafsiran yang keliru.