Begini Awal Mula Usulan Kepala BNPT RI Soal Kontrol Rumah Ibadah

Nasional2745 Dilihat

JAKARTA – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel, menjelaskan asal mula dirinya mengusulkan adanya mekanisme kontrol rumah ibadah. 

Rycko mengatakan, awalnya ada mendengar informasi perihal rumah ibadah milik Pertamina yang menyiarkan ceramah berisi olokan terhadap pemimpin dan pemerintah.

“Begini, itu kan diawali dengan pertanyaan ada satu rumah ibadah milik BUMN Pertamina, pelat merah nih, yang di dalamnya isi ceramahnya itu mengolok-olok menyebarkan kebencian kepada seseorang kepada pemimpin, pemerintah, menyebarkan rasa mengajarkan kekerasan seperti itu,” ujarnya di Jakarta, Jumat (8/9/2023).

Dirinya lalu menyikapi informasi tersebut dengan membandingkan kegiatan ceramah keagamaan di negara-negara lain yang pernah dia datangi. 

Rycko menuturkan proses mendirikan rumah ibadah hingga isi ceramah diawasi ketat di negara lain.

“Saya bilang kalau negara-negara lain yang saya datangin, masjid-masjid pemerintah itu di bawah kontrol habis. Mulai mendirikannya, jadwal jamnya, penceramahnya, kontennya dikontrol habis,” katanya.

Rycko menilai, upaya pengawasan ini efektif dalam mempersempit penyebaran radikalisme. “Dan mereka mampu mempersempit ruang gerak daripada penyebaran paham radikal,” imbuh dia.

Rycko lalu menjelaskan, jika hal tersebut diterapkan di Indonesia, maka harus disesuaikan dengan situasi dalam negeri. Di Indonesia, rumah ibadah seperti masjid dibangun oleh banyak pihak, tak hanya pemerintah.

Oleh sebab itu, Rycko menyampaikan tak bisa hanya pemerintah saja mengontrol rumah ibadah, namun perlu adanya keterlibatan seluruh elemen bangsa. Rycko menyadari BNPT pun tak mampu mengontrol seluruh rumah ibadah di Indonesia.

“Indonesia tidak semuanya milik pemerintah. Ada masjid yang dibangun oleh pribadi, oleh kelompok masyarakat. Bangun pesantren, dalamnya bangun masjid. Seandainya pemerintah dikasih kewenangan pun oleh UU untuk mengontrol, kemampuannya nggak ada, apalagi cuma BNPT yang cuma seupil jumlahnya, nggak cukup,” jelas Rycko.

“Nah oleh karena itu saya menawarkan, kita perlu memikirkan kata-kata ini, kita perlu memikirkan suatu mekanisme kontrol terhadap tempat ibadah, utamanya masjid yang digunakan untuk penyebaran paham radikal. Di mana simbol-simbol atribut agama Islam dengan jumlah keagamannya itu dimanfaatkan untuk menyebarkan rasa kebencian atas nama demokrasi,” lanjutnya.

Masih kata Rycko, mekanisme pengawasan atau kontrol rumah ibadah harus juga melibatkan pendiri rumah ibadah hingga lembaga atau organisasi yang menaungi rumah ibadah. Bahkan, tokoh masyarakat sekitar rumah ibadah juga melakukan pengawasan.

“Mekanisme kontrol yang saya maksud adalah mulai dari pendirinya yang mendirikan mesjid, pengurusnya, DKM-nya, harus mengontrol ini. Kalau ada penceramah yang mulai menyebarkan kebencian, catat, coret,” ujar Rycko.

“Saya bicara sama MUI, ternyata mereka sudah mengerjakan ini. Namanya ngontrol semua, semua pihak harus bertanggung jawab. Pendirinya pengurus masjidnya, DKM-nya, kemudian MUI-nya, kemudian tokoh masyarakatnya tokoh agamanya, ketua-ketua lingkungan yang ada di situ, pemerintah diwakili oleh FKUB, FKUB di dalamnya ada pemerintah ada Forkopimda, ada TNI, ada Polri ada Kementerian Agama,” tambahnya.

Jika tak ada kontrol terhadap isi ceramah di rumah ibadah, Rycko khawatir ceramah agama disusupi oleh doktrin yang berlawanan dengan nilai-nilai luhur bangsa. Olehnya itu, usulnya semata untuk mempersempit penyebaran paham radikal.

“Mekanismenya harus dilembagakan, kenapa dilembagakan? Untuk mempersempit ruang gerak, mempersempit ruang gerak penyebaran ideologi yang menggunakan atribut simbol-simbol agama dan tempat ibadah. Kalau nggak ya, kalau nggak, datang anak rajin ke masjid, pulang mengkafirkan bapaknya sama ibunya,” kata dia mengakhiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *