JAKARTA – Banyak budaya dan tradisi di Indonesia yang cenderung patriarkis atau menempatkan posisi pria di atas wanita. Budaya inilah yang dijadikan dimanfaatkan kelompok radikal untuk melakukan brainwashing terhadap banyak perempuan Indonesia. Imbasnya, banyak perempuan yang terlibat jaringan teroris, termasuk keikutsertaan anak-anak mereka.
Kepala Seksi Analisis Intelijen Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Leebarty Taskarina, menjelaskan patriarkisme di Indonesia memiliki andil yang cukup besar dalam penyebaran paham radikal pada kaum perempuan. Pasalnya, patriarkisme memiliki korelasi dengan kerentanan perempuan untuk terpapar paham radikal.
Hal ini sebagaimana temuan studi yang pernah dilakukan Leebary. Dari 20 perempuan pelaku terorisme, ditemukan fakta bahwa ajakan keluarga, dalam hal ini khususnya pasangan/suami dan saudara laki-laki, menjadi salah satu penyebab terbesar perempuan terlibat aksi teror.
“Parahnya lagi, perbuatan keji yang perempuan itu lakukan dianggap sebagai sebuah bentuk ketaatan terhadap suaminya. Hal ini juga menandakan bahwa aksi teror yang dilakukan perempuan tidak bisa lepas dari pengaruh dominasi laki-laki terhadapnya,” ujarnya di Bogor, Jumat (8/3/2024).
Leebarty mengungkapkan, paradigma masyarakat Indonesia secara umum masih cenderung membatasi kesempatan perempuan untuk mengembangkan diri mereka. Fenomena ini yang dilihat sebagai suatu kesempatan oleh jaringan teror.
Kelompok radikal dan jaringannya seolah-olah memberikan kesempatan pada perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki dan bisa berada di garis terdepan perjuangan agama. Karena hal tersebut, perjuangan agama melalui kekerasan menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum hawa.
“Oleh karena itu, agensi dan semi otonomi perempuan dalam aktivitas terorisme sejatinya dilatari pengalaman penindasan, viktimisasi, manipulasi dan mistifikasi yang mendahului yang seluruhnya berakar dari budaya patriarki,” kata Leebarty.
Ia menekankan, perlu edukasi yang lebih komprehensif agar perempuan Indonesia mengerti, bahwa jihad semestinya tidak didefinisikan begitu saja tanpa konteks waktu, ruang, dan tujuan.
Penting ditanamkan pemahaman bahwa terorisme tidak berada dalam satu nafas dengan pemaknaan jihad, bahkan jihad dapat direalisasikan dengan cara-cara positif dan sederhana dalam kehidupan perempuan sehari-hari.
BNPT yang mewakili Pemerintah Indonesia dalam persoalan ini, hadir untuk ikut menentukan arah kebijakan nasional yang nantinya akan menghasilkan penurunan angka keterlibatan perempuan dalam gerakan teror.
Dalam menangani isu keterlibatan perempuan, Leebarty menerangkan bahwa BNPT melakukan pendekatan dari berbagai aspek, seperti ideologi, psikososial, ekonomi, dan regulasi.
Menurut Pendiri dan Ketua Komunitas Perempuan Peduli Toleransi (KPP) ini, aspek ideologi mencakup hadirnya pendidikan melalui kurikulum yang moderat dan menyerukan perdamaian antar golongan. Nilai toleransi juga harus ditegakkan secara maksimal melalui kementerian terkait.
Selain itu, lanjut Leebarty, kurikulum pendidikan yang moderat dan toleran wajib menjadi prioritas, baik di institusi pendidikan formal maupun informal, khususnya yang berbasis keagamaan tertentu. Aspek ideologi ini hanya bisa dilaksanakan secara sempurna jika didukung oleh tenaga pengajar yang memiliki wawasan kebangsaan yang kuat.
Kemudian, aspek psikososial dengan lebih menyoroti pada kesempatan berpendidikan yang setara antara laki-laki dan perempuan, serta pemberdayaan peran komunitas masyarakat.
Pelibatan civil society diperlukan sebagai bentuk mitigasi prioritas yang berkesinambungan pada kebijakan Pemerintah Daerah. Hal ini juga perlu didukung oleh Kementerian terkait yang memiliki kewenangan horisontal di tataran akar rumput.
Selanjutnya adalah sspek ekonomi yang mengatur program pemberdayaan perempuan melalui pemberian ruang dan akses terbuka bagi perempuan agar bebas berkreasi dan independen, sehingga mereka bisa mandiri secara finansial.
“Yang terakhir, aspek regulasi berarti menyiapkan payung hukum sebagai dasar acuan penanggulangan terorisme yang mengedepankan pengarusutamaan kesetaraan gender disertai dengan intervensi program,” imbuh Leebarty.
Dalam hal ini, ia menggarisbawahi bahwa BNPT segera akan merumuskan kebijakan yang menjangkau pengalaman khas perempuan dan tidak menyamaratakan kebijakan pencegahan atau penanganan dengan mengabaikan aspek gender di dalamnya.
Ia meminta untuk menghentikan penyebaran misoginisme (kebencian kepada perempuan) di media, karena ini justru mempromosikan kebencian terhadap perempuan yang terjebak dalam radikalisme.
“Kita harus menyiapkan lingkungan yang mendukung perempuan untuk mengembangkan karir dan kehidupannya tanpa penghakiman sepihak. Dengan tingkat pendidikan yang matang, pada akhirnya perempuan memiliki resistensi tinggi terhadap proses radikalisasi, dan bisa berkontribusi membangun Indonesia yang lebih toleran serta damai,” katanya.