JAKARTA – Serangan Iran terhadap Israel merupakan bentuk pembelaan diri sebagai bangsa yang berdaulat. Adalah pembalasan terhadap aksi yang dilakukan Israel beberapa waktu lalu terhadap konsulat jenderal di Damaskus, Suriah.
Demikian dikatakan Akademisi dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Edwin Martua Bangun Tambunan, di Jakarta, Senin (15/4/2024), menanggapi konflik yang terjadi antara Iran dan Israel.
“Iran mengklaim itu pembelaan diri atas aksi sepihak oleh Israel, yang sama sekali tidak direspons oleh masyarakat internasional dalam bentuk mengutuk atau aksi-aksi lainnya,” ujarnya.
Pascaserangan itu, lanjut Edwin, hanya sejumlah negara yang memberikan peringatan. Namun, tidak ada aksi tegas dari masyarakat internasional terhadap aksi tersebut.
“Kalau dipakai asas exterritoriality, perwakilan suatu negara di negara lain adalah teritori wilayah dari negara itu, apa yang dilakukan Iran itu, relatif dapat dibenarkan,” kata dia.
Pengajar Program Studi Hubungan Internasional itu menyarankan kepada Indonesia tetap harus tegas, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, yakni mempertahankan perdamaian dunia serta tidak menoleransi adanya perang.
“Indonesia harus menyatakan sikap agar semua pihak dapat menahan diri,” katanya.
Sebelumnya, Duta Besar Republik Islam Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amir Saeid Iravani, menegaskan bahwa operasi militer negaranya terhadap Israel pada hari Sabtu (13/4) merupakan upaya untuk membela diri.
“Operasi Iran sepenuhnya merupakan perwujudan dari hak yang melekat pada Iran untuk membela diri. Tindakan yang telah selesai tersebut diperlukan dan proporsional,” katanya dalam sidang darurat Dewan Keamanan PBB.
Permusuhan terbaru antara Iran dan Israel dipicu serangan terhadap Konsulat Iran di Damaskus, Suriah, 1 April lalu, yang menewaskan sedikitnya tujuh anggota Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran, termasuk dua jenderal penting.