JAKARTA – Perlu ada perubahan keputusan politik negara untuk mengatasi gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua. Tanpa perubahan tersebut, keputusan Panglima TNI, Jenderal TNI Agus Subiyanto, mengubah penyebutan Kelompok Separatis Teroris (KST) alias Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua menjadi OPM tak berarti apa-apa.
Hal itu diungkapkan Pengamat militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, di Jakarta, Rabu (17/4/2024).
“Sepanjang tidak ada perubahan kebijakan dan keputusan negara, maka OMSP (operasi militer selain perang) TNI di Papua masih akan sama seperti sebelumnya, yaitu OMSP perbantuan pada Polri dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban,” ujarnya.
Fahmi meyakini keputusan Panglima mengubah nomenklatur KST menjadi OPM, dapat menjadi momen untuk melihat kembali peluang mengubah kebijakan dan keputusan politik negara terhadap organisasi separatis di Papua.
Menurut dia, perubahan nama itu menunjukkan harapan adanya peran lebih dari TNI untuk menindak kelompok separatis di Papua, mengingat saat ini posisi TNI membantu Polri, misalnya dalam Satgas Damai Cartenz.
“Bagaimana pun sejauh ini kita sudah bisa melihat dengan gamblang bahwa aksi-aksi kelompok bersenjata di Papua ini, ditujukan bukan sekadar untuk mengganggu keamanan, melainkan dengan tujuan memisahkan diri dari Indonesia, dan mereka juga melakukan aksi-aksi teror untuk menurunkan moril prajurit dan menakuti warga masyarakat,” jelasnya.
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, lanjut Fahmi, TNI mestinya bisa diperintahkan mengatasinya melalui skema operasi militer selain perang dalam rangka mengatasi gerakan separatis bersenjata dan pemberontakan, sebagaimana diatur Pasal 7 ayat 2 huruf b angka 1.
Fahmi mengakui ada momok pelanggaran HAM yang kerap disangkutkan ke TNI jika TNI diperintahkan menggelar OMSP untuk menindak gerakan separatis OPM di Papua. Namun, dapat diantisipasi manakala ada protokol, prosedur, dan aturan yang jelas.
“Jika (OMSP) itu dilakukan, maka tindakan TNI harus sepenuhnya mengacu pada protokol dan konvensi internasional yang mengatur bagaimana tindakan militer dilakukan terhadap aksi separatisme bersenjata, termasuk juga bagaimana perlakuan terhadap milisi yang tertangkap, non-kombatan, dan warga sipil. Dengan begitu, momok pelanggaran HAM bisa dihindari sepanjang tindakan mereka sepenuhnya berada dalam ruang lingkup protokol dan konvensi,” terangnya.
Terlepas dari itu, dia kembali menegaskan persoalan separatisme di Papua membutuhkan itikad pemerintah dan DPR untuk merumuskan kembali kebijakan dan keputusan politik negara terhadap OPM.
“Ini sepenuhnya kembali pada itikad pemerintah dan DPR apakah akan tetap memelihara keraguan serta membiarkan kondisi tumpang tindih dan carut-marut ini berlanjut, atau bersedia mengambil langkah berani dengan merumuskan rencana aksi yang mencerminkan perubahan kebijakan atau keputusan politik dan dapat dijalankan secara simultan dan komprehensif,” katanya.