BANYUWANGI – Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang penuh dengan keberagaman. Keberagaman agama, suku, ras, bahasa, justru menggambarkan Indonesia yang tergambar di dalam kitab suci Alquran, dimana Tuhan Yang Maha Esa dunia dengan berbagai perbedaan.
Di Indonesia, perbedaan itu merupakan keniscayaan dan perekat persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena tidak ada sedikit celah pun intoleransi boleh hidup di Indonesia dibawah panji-panji Pancasila.
“Pada dasarnya semua orang itu cinta pada perdamaian, karena manusia itu diciptakan dengan fitrah yang penuh cinta oleh Tuhan,” ujar pendakwah dan kreator konten milenial, Habib Husein Ja’far Al Hadar, saat menjadi narasumber kegiatan Sekolah Damai dengan tema “Pelajar Cerdas Cinta Damai” di Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi, Jawa Timur, Kamis (16/5/2024) malam.
Menurut Habib Ja’far, dalam Islam yang dibutuhkan adalah paparan, melalui dalil-dali berbasis nilai-nilai keislaman, bahwa Islam berpihak secara penuh kepada nilai-nilai toleransi yang disebut dengan tasamuh.
Habib Ja’far melanjutkan, tasamuh dalam bahasa dan istilah Arab yang berbasis pada nilai utama Islam disebut sebagai rahmatan lil alamain.
Karena itu, ia mengajak terutama anak muda, khususnya para santri dan santriwanti untuk melekatkan nilai dan mengisi ruang-ruang dakwah dengan nilai-nilai Islam yang penuh dengan toleransi.
“Jangan biarkan justru klaim-klaim Islam sebagai agama yang sarat dengan nilai-nilai intoleransi digaungkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Santri itu telah menjadi punggung bagi toleransi di Indonesia. Karena itu semua tidak hanya santri harus sadar bahwa di luar ini ada tantangan yaitu intoleransi,” jelasnya.
Untuk para santri, kata Habib Ja’far, bila mereka sudah purna dari pesantren, mereka wajib menjaga agama dan ilmu agama serta amal dan akhlak agama yang salah satu pondasinya adalah toleransi.
Ketika mereka (santri) menjadi apapun nanti, para santri harus mendakwahkan islam rahmatan lil alamin pada sekitarnya, bukan malah menyebarkan kebencian dan intoleransi kepada umat beragama lain.
Selain itu, santri juga bisa memimpin majelis taklum di masjid agar Islam itu dijaga oleh ahlinhya. Pasalnya, bila Islam diserahkan kepada yang bukan akhlinya, maka kehancuran nama dan cinta Islam itu ada depan mata melalui propaganda ke masyarakat karena mereka tidak pernah belajar dan mengelola agama.
Menurutnya, santri yang diajarkan pertama adalah belajar agama. Kedua adalah menginternalisasi agama melalui apa-apa yang disebut dengan suluk.
“Pesantren tasawuf seperti di Darussalam ini, bukan hanya belajar agama tapi meresapi agama melalui suluk. Mereka iniah yang akan menjadi generasi yang tahu agama dan tidak diprovokasi oleh nafsu dalam diri sehingga ketika melihat perbedaan,” katanya.
Jadi, lanjut Ja’far, kalau santri itu pasti telah belajar agama dan mereka tahu bahwa toleransi itu adalah satu keharusan karena perbedaan itu satu kenyataan dan keniscayaah Tuhan yang tercantum dalam Alquran.
Kalau Tuhan mau semua umat manusia bisa saja login sebagai Muslim semua. Tapi Tuhan menciptakan dunia dengan manusia dan segala isinya dengan berbagai perbedaan.
“Intinya bahwa toleransi adalah ajaran Islam terhadap perbedaan. Perpecahan adalah musuh Islam yang harus dilawan. Jadi musuh kita itu bukan peradaban yang berbeda tapi orang-orang yang tidak siap menerima perbedaan,” kata dia.
Lebih lanjut, Habib Ja’far menguraikan terkait intoleransi, kekerasan, dan bullying. Menurutnya, orang yang punya intoleransi dia akan menyebabkan kekacauan sehingga tidak ada kedamaian.
“Ciri orang islam itu menurut Nabi Muhammad bukan hanya salat, puasa, zakat haji, tapi bisa memberikan rasa damai bagai siapa saja. Maka orang tidak toleran bukan muslim. muslim itu yang tasamuh, memberikan rasa damai dan toleransi bagi orang sekitar,” jelasnya.
Ia mengatakan, ada empat jenjang toleransi. Pertama intra agama sesama orang Islam yaitu ukhuwah islamiyah, kalau dia beda agama atas namanya ukhuwah wathoniyah, toleransi antar warga negara.
“Kalau beda suku, beda agama, tapi satu warga negara, sesama orang indonesia itu saudara,” kata dia.
“Kalau dia bukan orang indonesia bukan Islam, maka toleransi kita ukuhuwah insaniyah. persaudaraan sesama manusia. Sedangkan kalau dia bukan manusia, toleransi ukhuwah mahmudiyah persaudaran dalam toleransi sesama makhluk Tuhan,” katanya lagi.
Habib Ja’far juga menuturkan empat unsur Islam toleran. Pertama Islam yang tidak takfiri, tidak mudah mengkafirkan orang lain. Kedua dia tidak menjadikan kekerasan sebagai jalan iuntuk menyeleaikan masalah. Kalau ada masalah dia cari solusi damai bukan dengan kekerasan. Ketiga tidak anti nilai-nilai kebangsan. kempat tidak anti nilai budaya.
Ia melanjutkan, bahwa Allah SWT akan terkagum-kagum apabila umatnya mampu menjaga adab dengan berkelakukan baik. Kaka apalagi umat manusia bisa melakukan itu, tentu akan dapat ganjaran dari Allah SWT.
“Kemudian jangan lupa, non-muslim itu menilai Islam tidak dari Alquran atau zhadits maupun sebagainya, melainkan mereka ini melihat dari kita umat muslim dari tindak tanduk sebagai agen atau “marketing” islam. Maka dari itu kita sebagai muslim harus bisa memberikan contoh dalam berkehidupan dan beribadah yang baik dimanapun karena nama islam harus senantiasa kita jaga,” jelas dia.