JAKARTA – Anggota satuan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri diduga menguntit (mengikuti) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, saat makan malam di salah satu restoran di Cipete, Jakarta Selatan.
Pengamat keamanan dari Centre for Strategic and International Studies, D. Nicky Fahrizal, menilai jika terbukti anggota Densus 88 digunakan untuk kegiatan spionase, hal itu jelas melanggar Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Dalam tataran operasional, tugas Densus 88 berada di bawah rezim UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, bukan menguntit aparat hukum, seperti pejabat Kejaksaan Agung.
Baca Juga: Cegah Terorisme di Jawa Timur, Kemenko Polhukam Lakukan Ini
”Dilihat dari aspek hukum, Densus 88 tidak bisa dikerahkan untuk urusan lain, kecuali berkaitan dengan terorisme dan kontra terorisme. Kalau ada kasus yang berhubungan dengan spionase atau kegiatan memata-matai, sudah tentu ini pelanggaran terhadap UU tersebut,” ujarnya dikutip dari Kompas, Sabtu (25/5/2024).
Nicky menambahkan, jika benar informasi bahwa Jampidsus dikuntit Densus 88, marwah Densus 88 bisa terganggu dan kepercayaan publik terhadap lembaga itu juga akan berkurang.
Selama ini, Densus 88 dipercaya untuk menanggulangi aksi teror, kontraradikalisasi, dan kontraterorisme. Mengapa tugas pokok dan fungsi mereka itu justru menjadi spionase atau memata-matai pejabat tinggi Kejagung.
”Jampidsus itu kan pejabat tinggi yang mengerjakan penindakan hukum tindak pidana krusial, seperti korupsi dan pencucian uang. Artinya, Mabes Polri, dalam hal ini Kapolri dan Komandan Densus 88, harus mengklarifikasi. Sebab, ini mempertaruhkan kepercayaan publik,” jelasnya.
Pengawasan Densus 88 Terhadap Jampidsus Tak Berkaitan dengan Pemberatasan Terorisme
Pengawasan Densus 88 terhadap Jampidsus Febrie dianggap tidak berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan terorisme. Artinya, unit khusus kepolisian itu sudah digunakan untuk urusan yang bukan bidangnya. Apabila pengintaian itu berkiatan dengan kepentingan politik, tentu bisa melanggar mandat UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Lebih lanjut, Nicky menyebut bahwa kegiatan spionase sesama aktor penegakan hukum, yaitu Polri dan kejaksaan, justru bisa menimbulkan preseden yang buruk.
Padahal, seharusnya kedua aparat penegak hukum ini bisa lebih berkoordinasi, melakukan sinkronisasi dan kolaborasi. Namun, anehnya, yang terjadi justru adalah semacam kompetisi yang berbahaya.
”Ini juga bisa berarti tata kelola penegakan hukum di Indonesia ini sedang hancur-hancurnya, kalau melihat situasi seperti itu, karena antaraktor penegakan hukum ini kan tidak sinkron. Tambah lagi, yang harusnya mengawal pejabat tinggi kejaksaan ini kan kalau tidak polisi organ internal pengaman kejaksaan. Karena ini melibatkan polisi militer menjadi lebih rumit,” jelasnya.
Menurut Nicky, dilibatkannya polisi militer untuk mengawal Jampidsus Kejagung bisa berujung runyam karena yurisdiksi yang berbeda. Polisi militer seharusnya dilibatkan untuk penegakan hukum pidana militer atau kedisiplinan militer. Adapun, karena kejaksaan berada dalam yurisdiksi penegakan hukum sipil, seharusnya mereka dikawal oleh kepolisian.
”Kalau dibiarkan bisa merunyam di kemudian hari karena yurisdiksi polisi militer ada di korps kehakiman militer atau oditur militer. Kalau kemudian polisi militer ini berhadap-hadapan dengan kepolisian bisa rancu dan berbahaya,” katanya.
Kronologis Jampidsus Kejagung Diduga Dibuntuti
Diberitakan sebelumnya, anggota polisi dari satuan Densus 88 diduga menguntit Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah, saat makan malam di salah satu restoran di Cipete, Jakarta Selatan. Satu dari anggota Densus 88 tertangkap basah saat memantau makan malam Febrie, Minggu (19/5/2024).
Dua orang yang mengetahui peristiwa itu bercerita bahwa kejadian itu sekitar pukul 20.00 WIB, Febrie disebut kerap menyambangi restoran yang menyajikan kuliner Perancis untuk makan.
Kala itu, Febrie makan bersama satu ajudan dan motor patwal Polisi Militer. Dua orang yang mengetahui peristiwa itu menyebut kedatangan Febrie disusul dua orang diduga anggota Densus 88. Mereka berpakaian santai dan datang dengan berjalan kaki.
Salah seorang dari anggota Densus 88 itu disebut meminta meja di lantai dua dengan alasan ingin merokok. Namun, pria itu selalu mengenakan masker wajah. Pria itu juga diduga mengarahkan alat yang diduga perekam ke arah ruangan Febrie.
Polisi militer yang mengawal Febrie pun curiga dengan pria tersebut. Sejak menangani kasus korupsi timah senilai Rp271 triliun, Jampidsus memang dikawal polisi militer TNI atas bantuan pengamanan dari Jaksa Agung Muda Bidang Militer.
Saat dimintai konfirmasi perihal kronologis peristiwa itu, Febrie tidak memberikan tanggapan. Adapun, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana mengatakan belum mendapatkan informasi mengenai peristiwa itu.
”Saya belum mendapatkan informasi terkait peristiwa tersebut. Coba dikonfirmasikan langsung kepada Jampidsus,” kata Ketut.
Setelah kejadian diduga dikuntitnya Jampidsus itu, pada Senin malam (20/5/2024), sejumlah kendaraan bersirine juga melakukan aksi mencurigakan di depan Kantor Kejagung RI di Jakarta.
Dalam sebuah video berdurasi sekitar 16 detik yang beredar di kalangan wartawan, terlihat konvoi sepeda motor dan mobil bersirine yang mirip kendaraan dinas Brimob.
Dalam video itu tidak ada keterangan yang menjelaskan apakah aksi itu merupakan demo atau protes terkait penangkapan tertentu. Beberapa kendaraan taktis dan belasan sepeda motor itu berkeliling kantor Kejagung sebanyak lebih kurang delapan kali. Mereka menggeber-geberkan knalpot motor besar dan menyorotkan sinar laser senjatanya ke gedung utama Kejagung.