SEMARANG – Dalam rangka menanamkan pemahaman berbangsa dan bernegara yang toleran, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang memberikan kuliah umum terhadap mahasiswa barunya.
Diharapkan dengan kegiatan itu, mahasiswa lebih memahami pentingnya menjaga persatuan, terutama di tengah maraknya ancaman intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang dapat mengancam stabilitas negara.
Dalam kesempatan itu, Deputi Bidang Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Mayor Jenderal TNI Roedy Widodo, mengatakan urgensi keamanan nasional semakin meningkat dengan adanya ancaman ideologi transnasional. Karena itu, perlunya kesatuan yang kokoh dari seluruh elemen bangsa dalam menghadapi ancaman ideologi transnasional.
Ia menambahkan, kampus sebagai pusat pendidikan tinggi adalah tempat yang sangat strategis bagi pengembangan pemikiran kritis dan inovatif, namun juga rentan disusupi oleh ideologi radikal jika tidak diawasi dengan baik.
“Lingkungan kampus, khususnya UNDIP, harus dijaga dari pemahaman intoleransi, radikalisme, dan terorisme,” ujarnya di Semarang, Rabu (14/8/2024).
Ia pun mengingatkan, bahwa ada pihak-pihak yang tidak senang jika Indonesia damai dan tentram. Pihak yang dimaksud adalah mereka yang menebarkan teror dan propaganda demi kepentingan merebut kekuasaan.
Kelompok-kelompok ini, kata Roedy, menggunakan berbagai cara untuk menyebarkan pengaruhnya, termasuk melalui radikalisme yang berakar pada intoleransi.
Pasalnya, Intoleransi adalah keyakinan yang meyakini kebenaran adalah milik kelompoknya sendiri, dan menafikan kebenaran yang diyakini oleh kelompok lainnya.
Ketika intoleransi ini diimplementasikan melalui perkataan dan perbuatan, maka lahirlah radikalisme. Radikalisme ini kemudian berkembang menjadi tindakan yang meresahkan dan merendahkan kelompok lain.
Baca Lagi: Kapolda Metro Jaya: Kejahatan Terorisme Jadi Perhatian Serius Jelang Pilkada Serentak
Mayjen Roedy menjelaskan, radikalisme bisa berkembang menjadi terorisme, yang tujuannya adalah menciptakan ketakutan dan destabilisasi negara. Hal ini adalah imbas dari pencegahan paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang belum maksimal.
“Terorisme adalah tindakan menebarkan teror yang ditujukan untuk destabilisasi suatu negara, sehingga mudah pemerintahan yang sah bisa dimasuki atau dijatuhkan oleh kelompok teror,” katanya.
Dalam konteks menjaga persatuan bangsa, Mayjen Roedy Widodo mengungkapkan kebanggaannya terhadap Indonesia yang memiliki satu bahasa kesatuan, yakni Bahasa Indonesia.
Misalnya saja, jika dibandingkan dengan negara seperti Malaysia yang masing-masing etnis bersikukuh atas bahasa kesehariannya sendiri, Bahasa Indonesia bisa diterima semua suku dan etnis di Indonesia.
Ia menambahkan, Indonesia patut bangga, karena bisa sepakat untuk menggunakan satu bahasa kesatuan, dan ini tidak dimiliki oleh negara lainnya yang terdiri dari suku dan bangsa yang berbeda.
“Bahasa Indonesia telah menjadi perekat utama dalam membangun identitas nasional di tengah keberagaman suku, agama, dan budaya yang ada di Indonesia,” kata Roedy.
Fenomena Revolusi Industri 4.0
Kesempatan yang sama, Dosen Ahli Hukum Acara Fakultas Hukum UNDIP, Irma Cahyaningtyas, menjelaskan dalam fenomena Revolusi Industri 4.0, masyarakat Indonesia, khususnya para akademisi, diharapkan mampu menyelaraskan keilmuan yang dimiliki dengan perkembangan teknologi.
Istilah-istilah baru seperti Internet of Things dan Artificial Intelligence perlu dipahami oleh mahasiswa Ilmu Hukum untuk mendukung pembuatan kebijakan dan produk hukum lainnya.
Dirinya menjelaskan, seorang hakim yang bertugas memutuskan perkara di persidangan perlu memperhatikan aspek keadilan tidak hanya melalui perspektif hukum formal, namun juga mampu menggunakan kacamata nurani untuk memberikan rasa adil yang humanis.
Baca Lagi: Pengamanan Kedatangan Paus Fransiskus di Indonesia, Polri Bakal Lakukan Ini
“Seorang hakim wajib memiliki kemampuan untuk memberikan rasa adil pada perkara yang terjadi di masyarakat. Dia perlu mengikutsertakan nuraninya sebagai seorang manusia dalam pengambilan keputusan agar tidak terjebak pada kekakuan peraturan formil semata,” katanya.
Ia menekankan pentingnya pemahaman perkembangan teknologi bagi mahasiswa dan alumni Fakultas Ilmu Hukum UNDIP agar dapat menyikapi dengan benar tentang adanya electronic evidence. Jika dibandingkan dengan kesaksian para pelaku ataupun korban dari suatu perkara, bukti-bukti elektronik memiliki kedudukan yang lebih kuat.
“Kedudukan electronic evidence dianggap lebih kuat jika dibandingkan dengan kesaksian korban atau pelaku. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan bagi pelaku atau korban, yang notabene manusia, untuk menolak memberikan keterangan atau bahkan mampu melakukan kebohongan,” jelas Irma.
3 komentar