JAKARTA – Sejumlah umat Kritiani di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat tak bakal merayakan Natal secara bersama-sama. Hal tersebut setelah dikabarkan Pemerintahan Nagari Sikabau (setingkat desa) mengeluarkan aturan tak mengizinkan menggelar kebaktian dan perayaan Natal di rumah ibadah sementara.
Karenanya, sekitar 30 umat Katolik di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, memutuskan tidak merayakan Natal tahun ini. Padahal Pemerintah Kabupaten Dharmasraya menawarkan fasilitas kendaraan agar mereka dapat melakukan kebaktian di gereja di Kota Sawahlunto atau tempat lain, namun jemaat menolaknya.
Ketua Stasi Jorong Kampung Baru, Maradu Lubis, mempertanyakan perlakukan pemerintah setempat. Bahkan tawaran memobilisasi umat Katolik di wilayah itu telah disosialisasikan, namun jemaah (umat) lebih memilih tak mengadakan ibadah.
“Walaupun hati kami menangis, kami akan patuh. Cuma sampai kapan pemerintah akan memperlakukan kami seperti itu? Mungkin ini ujian untuk kita,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Agama, Fachrul Razi, membantah jika pihaknya tidak melarang pelaksanaan Natal di wilayah itu. Namun lantaran tak adanya rumah ibadah (gereja) di wilayah itu.
“Jadi menurut penjelasan Kanwil (Kemenag) itu enggak ada gerejanya (di Dharmasraya). Kata dia kesepakatan bersama dua daerah itu (Pemkab Dharmasraya dan Sawahlunto). Saya sendiri belum cek,” katanya di Jakarta, Sabtu (21/12/2019).
Menurutnya, kesepatakan itu telah lama dibuat. Karenanya, jika ada umat Kristiani yang ingin merayakan Natal, maka harus ke gereja yang ada di Kabupaten Sawahlunto.
“Nanti kita tanya bagaimana kesepakatannya itu, tapi penjelasan mereka kesepakatan itu sudah lama,” katanya.
Sebelumnya, Pemkab Dharmasraya membantah soal pelarangan umat Kritiani melakukan Natal. Namun peneliti Pusat Studi Antarkomunitas (PUSAKA) Padang, Sudarto, yang juga pegiat HAM, mengatakan Pemkab Dharmasraya berbohong. Sebab pelarangan itu memang benar-benar terjadi tepatnya di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung.
“Bohong kalau pemerintah mengatakan tidak ada larangan. Cuma tidak keluar dari mulut dia. Saya kan tidak katakan Pak Bupati melarang, saya mengatakan ada pelarangan di daerah itu,” katanya.