Dakwah dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika: Membangun Kerukunan dan Toleransi di Indonesia

Nasional, Ragam542 Dilihat

JAKARTA – Dalam kehidupan bernegara, terutama di Indonesia yang menganut prinsip Bhineka Tunggal Ika, pemahaman tentang dakwah sering kali disalahartikan.

Beberapa kalangan beranggapan bahwa konklusi dari dakwah keagamaan adalah mengajak orang untuk berpindah keyakinan. Namun, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ahmad Zubaidi, memberikan perspektif yang lebih luas.

Kiai Zubaidi menjelaskan, dakwah seharusnya bertujuan untuk mengajak umat manusia menuju kebenaran, yang dapat diterima sesuai dengan latar belakang dan kapasitas masing-masing individu.

Baca Juga: Dari Teroris Menjadi Pembela Kamtibmas: Kisah Inspiratif Reinaldi Dai

“Dakwah terdiri dari dua macam, pertama, mengajak orang untuk menganut agama Islam, dan kedua, mengajak umat Islam kembali ke jalan yang benar,” ujarnya di Jakarta. Hal ini menekankan bahwa dakwah tidak hanya tentang konversi, tetapi juga tentang pembinaan.

 

Dakwah Beretika: Menghormati Keyakinan Orang Lain

Dai yang menyampaikan dakwah harus memperhatikan audiens mereka. Kiai Zubaidi menekankan pentingnya menghormati keyakinan orang lain, terutama dalam diskusi terbuka.

“Dakwah tidak boleh dilakukan secara paksa atau terbuka kepada orang yang sudah beragama lain,” katanya. Ini menunjukkan bahwa dialog antarumat beragama lebih penting daripada mengubah keyakinan seseorang.

Salah satu cara dakwah yang paling efektif adalah melalui dakwah bil hal, atau memberikan contoh yang baik. Kiai Zubaidi percaya bahwa tindakan umat Muslim yang penuh kasih sayang, toleran, dan disiplin dapat menarik minat orang untuk mempelajari Islam. Misalnya, banyak orang yang tertarik memeluk Islam setelah melihat perilaku umat Muslim yang santun dan penuh empati.

Menanggapi Ancaman Intoleransi

Kiai Zubaidi juga menyoroti adanya diskusi keagamaan yang mengarah pada intoleransi dan radikalisasi. Ia menyebutkan bahwa ini bukan hanya mencederai konsensus kebangsaan, tetapi juga melanggar hak kebebasan beragama yang dijamin oleh negara.

“Kita tidak ber-khilafah, tetapi ajaran Islam tetap dapat diamalkan di Indonesia,” tambahnya.

Ia mengingatkan, bahwa pendidikan agama yang kuat sangat penting untuk menghadapi ideologi transnasional yang mengancam.

Ia mengajak masyarakat untuk berhati-hati dalam memilih penceramah, memastikan mereka memiliki pengetahuan yang memadai dan tidak mengedepankan kebencian.

Kiai Zubaidi berharap para dai memahami Islam secara komprehensif, sehingga prinsip Bhineka Tunggal Ika dapat dipahami dengan baik.

“Islam dapat hidup di mana saja dengan menjaga perdamaian,” tutupnya.

Dengan pemahaman seperti ini, dakwah dapat menjadi alat untuk memperkuat kerukunan dan persatuan di tengah keberagaman Indonesia.

Dengan mengedepankan nilai-nilai kerukunan dan toleransi, dakwah di Indonesia tidak hanya menjadi sarana untuk menyampaikan ajaran agama, tetapi juga menjadi jembatan untuk membangun masyarakat yang harmonis dan damai dalam bingkai kebangsaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4 komentar