JAKARTA – Pendanaan terorisme, tak hanya menggunakan mata uang real alias yang dapat dilihat oleh mata. Namun ternyata penggunaan virtual currency -jenis uang digital- dapat mengancam dunia keuangan, bahkan menyebabkan risiko kejahatan keuangan.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kiagus Ahmad Badaruddin, mengatakan pelaku tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT), kerap memanfaatkan adanya inovasi keuangan digital. Karena itu mereka (pelaku) menghimpun dana melalui crowd funding dan penggunaan virtual currency sebagai sumber kegiatan terorisme.
“Jadi ada transaksi dari dalam dan ke luar negeri, ada transaksi mencurigakan (secara digital) atau transaksi tunai ya tetap berjalan (penelusuran),” katanya di Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Dari hasil penelusuran itu, lanjut Kiagus, pihaknya langsung menyampaikan ke Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Menurut Kiagus, pihaknya juga tengah mengembangkan platform Sistem Informasi Terduga Pendanaan Terorisme (Sipendar). Melalui platform itu, pihak pelapor dimampukan untuk lebih mengenali terduga pendanaan terorisme. Sementara aparat penegak hukum dapat memperoleh informasi pendanaan terorisme dengan cepat.
“Pada 2020 kami secara konsisten melanjutkan program kerja antara lain, peningkatan kompetensi dan pengetahuan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT),” ujar dia.
“Melalui Indonesia Financial Intelligence Institute (IFII), dengan program pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta pendidikan, yang terdiri dari pihak pelapor, aparat penegak hukum, dan pihak terkait,” Kiagus menambahkan.
Tak hanya pendanaan terorisme, dengan perkembangan teknologi mata uang digital, juga dapat memicu upaya pencucian uang. Sehingga pelaku kejahatan tidak lagi melakukan dalam bentuk uang tunai ataupun berbagai jenis aset.
“Mereka memanfaatkan teknologi informasi yang berfungsi untuk mengelola dana ilegal tersebut,” ujarnya.
Untuk itu, Kiagus meminta semua pihak mengoptimalkan penentuan arah kebijakan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT di Indonesia. Apalagi permasalahan money laundering dapat menimbulkan masalah domestik, seperti mempersulit pengendalian moneter, dan mengurangi pendapat negara.
Selain itu, akibat dari money laundering juga berpotensi menciptakan instabilitas sistem keuangan ataupun perlambatan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut dapat mempertinggi risiko negara.
“Tidak hanya oleh PPATK yang bisa melaksanakan. Tapi, melalui kolaborasi PPATK dengan LPP, pihak pelapor dan stakeholder lainnya,” katanya.
Kiagus mengaku, dengan hadirnya virtual asset seperti cryptocurrency yang sulit dilacak, membuat aliran dana illegal lintas negara yang berasal dari aktivitas kejahatan ekonomi antarnegara meningkat. Terlebih, .
“Dari berkisar sekitar 2 persen hingga 5 persen dari GDP Global,” kata dia.