BANDUNG – Dunia maya dengan berbagai konten informasin menjadi ruang publik baru. Dimana fakta, nilai, dan opini bertebaran secara luas. Karena itu, masyarakat diuji untuk lebih cerdas dalam membaca peristiwa dan fakta di era media digital, agar tidak terjebak pada disiformasi yang dapat memecah belah masyarakat.
Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Upar) Bandung, Ignatius Bambang Sugiharto, mengatakan menggunakan media sosial (medsos) sebetulnya banyak peluang yang bisa dilakukan masyarakat, agar tetap menjaga sikap rasional dari penyebaran intoleransi dan radikalisme.
“Saya kira, kita harus belajar berpikir terbuka dalam melihat perbedaan komentar dari berbagai pihak di media sosial. Karena orang bisa belajar melihat mana komentar dangkal, mana yang mendalam,” ujarnya di Bandung, Rabu (29/1/2019).
Oleh karena itu, ia menyarankan agar masyarakat selalu dapat bersikap kritis menggunakan media sosial untuk membentengi diri, agar tidak mudah terprovokasi.
“Dalam arti begini, kita harus melihat bahwa radikallisme itu jelas-jelas destruktif, dan tentunya tidak mungkin dikehendaki Tuhan,” katanya.
Selain dari diri sendiri, menurut Sugiharto juga perlu peran pemerintah menanggulangi penyebaran radikalisme di media sosial. Sehingga tak semakin masif dan menjangkiti masyarakat. Dengan melakukan program kontra radikalisasi terhadap masyarakat umum dan para generasi muda di lembaga pendidikan, yang selama ini dinilai rentan terpapar.
“Saya kira kontra radikalisasi itu perlu dijalankan sejak pendidikan dasar, dengan memupuk sikap pluralis dan toleran terhadap yang berbeda,” ujar dia.
“Saya lihat pemerintah sudah ke arah itu. Saya melihat BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sudah sering melakukandi lembaga pendidikan seperti kampus-kampus dan juga masyarakat,” Sugiharto menambahkan.
Ia menambahkan, populasi kaum milenial di medsos sangat banyak. Karena itu, harus dibiasakan untuk melihat perbedaan, sebagai suatu keindahan dalam cara berpikir. Dimana cara-cara berpikir yang indokrtinatif dihindarkandan diganti dengan keberanian mempertanyakan atau meragukan setiap opini dan fakta yang ada.
“Sikap kritis itu natural, karena otak manusia itu diciptakan Tuhan memang untuk berpikir,” katanya.