SEMARANG – Wacana pemulangan ratusan warga negara Indonesia (WNI) eks simpatisan ISIS dari Suriah ke tanah air, masih ramai dibicarakan.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengaku menolak kepulangan sekitar 600 WNI itu ke Indonesia. Karenanya tak takut disebut melanggar hak asasi manusia (HAM).
“Melanggar HAM bagaimana? Justru mereka (eks ISIS). itu yang melanggar HAM dengan sadis. Coba lihat mereka melanggar HAM tidak? Mereka malah supersadis, ‘nyembelih’ orang, kok, bukan pelanggaran HAM,” ujarnya di Kabupaten Boyolali, Sabtu (8/2/2020).
Ia menjelaskan, wacana pemulangan WNI eks ISIS ke Indonesia menimbulkan kontradiksi, karena yang bersangkutan sudah tidak mengakui sebagai warga Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan tidak adanya paspor yang dimiliki.
“Dia negaranya mana? Kan paspor saja sebagai data keindonesiaannya sudah dibakar, berarti sudah tidak mau dengan kita. Wong sudah tidak mau dengan kita, kok, mau diterima, kan aneh,” kata dia.
Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah pusat berhati-hati dalam menentukan sikap terkait pemulangan eks ISIS ke Indonesia. “Saya bisa dan berani memberikan kesaksian-kesaksian dari yang ada di lapangan kalau memang dibutuhkan,” katanya.
Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memastikan hingga saat ini belum ada rencana memulangkan sekitar 600 Warga Negara Indonesia (WNI) eks simpatisan ISIS ke tanah air.
“Kita luruskan kembali, bahwa informasi tentang pemulangan itu sampai sekarang belum ada,” ujar Kepala BNPT, Komjen Pol Suhardi Alius dalam jumpa persnya di kantor BNPT Jakarta, Jumat (7/2/2020).
Suhardi mengaku, saat ini pihaknya hanya mendapatkan informasi sekian 600 orang Foreign Terrorist Fighter (FTF)) dan keluarganya mengaku berkewarganegaraan Indonesia. Namun belum dilakukan verifikasi. Oleh karena itu, BNPT meluruskan berita di berbagai media massa yang simpang siur terkait rencana pemerintah memulangkan WNI Eks ISIS dari Suriah.
“Akibat banyaknya berita yang penjelasannya kurang utuh, membuat masyarakat menjadi resah,” kata dia.
Dari informasi yang didapatkan, lanjut Suhardi, kemudian dilaporkan ke Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD dan juga beberapa lembaga terkait, seperti Badan Intelijen egara (BIN) dan Kepolisan dalam hal ini Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
“Dari informasi yang didapat tersebut kami rapatkan, bagaimana menangani informasi semacam ini. Pak Menkopolhukam tidak langsung (memberi keputusan). Kami (BNPT) yang memberikan paparan, kemudian Kementerian/Lembaga (K/L) lainnya yang memberikan tanggapan dengan berbagai aspek dan pandangannya,” ujar dia.
“Sekarang masih dalam pembahasan. Jadi tidak ada dan belum ada keputusannya sama sekali (pemulangan WNI tersebut). Ini yang perlu saya luruskan dulu,” Suhardi menambahkan.
Mayoritas eks simpatisan ISIS yang mengaku WNI terdiri atas perempuan dan anak-anak. Namun pihaknya bakal mengklarifikasi terlebih dahulu, karena data yang ada masih berupa nama biasa dan belum lengkap. Bahkan beberapa hanya foto.
“Mereka saat ini berada di tiga kamp yang ada di Suriah yakni Al-Roj, Al-Hol dan Ainisa. Informasi itu masih mentah dan butuh diverifikasi. Kita tidak dari pengakuan mereka-mereka saja. Karena beberapa di antaranya bilang katanya asal orang Indonesia. Tapi mana buktinya? Mereka enggak bisa juga jawab. Ini tentu perlu verifikasi,” ujarnya.
Nantinya dalam proses verifikasi, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bakal mengecek data kependudukan mereka. Sementara Densus 88 bakal turut memetakan rekam jejak mereka terkait aktivitas terorisme.
“Jadi ada empat instansi minimal untuk verifikasi, sehingga kita mendapatkan data yang valid,” kata dia.
“Mereka sudah punya pengalaman (pemahaman ideologi kekerasan) semacam itu. Nah, ini perlu jadi pemikiran kita semua sebelum mengambil keputusan,” Suhardi melanjutkan.
Setelah proses identifikasi selesai, selanjutnya pemerintah akan membahas kembali. Sebab ada banyak pertimbangan yang bakal dikaji sebelum mengambil keputusan. Salah satu aspek hukum dan hak asasi manusia (HAM). Karena di dalam Undang-undang, seorang warna negara yang ikut berperang di negara lain, akan kehilangan kewarganegaraan.
“Tetapi, bagaimana dengan anak dan istrinya? Itu kan yang perlu dibahas. Nanti dirumuskan, setelah itu Pak Menkopolhukam yang mengambil keputusan. Baru kita laporkan kepada Wapres (Ma’ruf Amin) dan Pak Presiden (Joko Widodo) gitu. Jadi jangan bingung, kasian masyarakat,” katanya.