JAKARTA – Dalam upaya penguatan pemahaman hubungan antara Pancasila dan agama, masyarakat harus diberikan wawasan kebangsaan, moderasi beragama, dan keteladanan.
Hal tersebut ditegaskan Ketua FKPT Kalimantan Tengah yang juga Rektor IAIN Palangkaraya, Khairil Anwar, di sela-sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di Jakarta, Rabu (19/2/2020).
“Karena moderasi beragama itu melihat bagaimana Islam yang wasathiyah. Tidak ekstrem kanan yang tekstualis, intoleran atau pun ekstrem kiri yang liberal,” ujarnya.
Menurutnya, menarik orang-orang yang berpaham ekstrem dengan berdialog merupakan salah satu cara. Karena itu, ia menyarankan pentingnya penguatan wawasan kebangsaan tentang nilai-nilai Pancasila kepada ustad dan penceramah yang cenderung tekstualis.
“Selain moderasi beragama juga harus diikuti dengan wawasan kebangsaan. Nilai-nilai pancasila harus dibumikan juga ke pesantren-pesantren. Dan yang paling penting sekali adalah keteladanan,” katanya.
Ia menegaskan, masyarakat perlu role model yang baik untuk diteladani. Hal tersebut menjadi inti dari nilai Pancasila. “Nabi Muhammad sendiri 80 persen dakwahnya bilhal, dakwah dengan keteladanan. Hanya 20 persen dengan dakwah bil lisan, dengan ceramah,” kata dia.
Ketika masyarakat melihat perilakunya baik, lanjut Anwar, maka bakal mudah diterima dan diikuti. Begitu pula peran pemerintah yang harus membuat kebijakan yang sesuai dan tepat. Seperti memberantas hoaks dan fitnah.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) ini menjelaskan, sejatinya agama dan Pancasila tidak bertentangan karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius sejak lama.
“Sejak sebelum tahun 1945 itu sudah dipikirkan apakah bangsa kita ini nanti berdasarkan Pancasila atau agama. Kemudian akhirnya para pemimpin bangsa sepakat bahwa negara kita bukan berdasarkan agama atau sekuler tetapi berdasarkan Pancasila,” katanya.
Pancasila diilhami dari nilai-nilai agama, sehingga mulai dari sila pertama hingga sila kelima itu tidak ada yang bertentangan dengan agama.
“Contohnya seperti sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu kan berdasarkan nilai-nilai agama. Tapi kalau ada pemahaman terhadap yang seagama saja berbeda, lalu memahami bahwa Pancasila itu thogut, ini pemahaman yang keliru,” ujarnya.
Pemahaman yang keliru dan sempit serta cenderung tekstualis serta adanya keinginan membuat negara berdasarkan Islam, yang membuatnya salah dalam memaknai Pancasila.
“Pancasila itu mistsaqan ghalidz yang artinya kesepakatan dari semua tokoh masyarakat, tokoh negara para pendiri bangsa kita,” ujar dia.
Selain itu, menurutnya lembaga pendidikan juga perlu untuk menanamkan pemahaman yang benar tentang Pancasila melalui kurikulum pendidikan mulai dari SD/madrasah sampai perguruan tinggi.
Anwar menilai, upaya itu sangat penting, apalagi menyikapi kemajuan teknologi sekarang ini. Menurutnya keberadaan handphone dan gadget serta media sosial, membuat pemahaman generasi muda atau generasi milenial tentang Pancasila menjadi sangat berat.
“Mungkin masih banyak anak muda kita tidak hapal Pancasila. Jadi harus diajarkan, nilai-nilainya, diimplementasikan dan yang tidak kalah pentingnya adalah keteladanannya,” katanya.