JAKARTA – Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di Indonesia mendapat kritikan sejumlah pihak. Setara Institute misalnya, menilai keterlibatan militer dalam pemberantasan terorisme belum mendesak. Apalagi skala ancaman terorisme menurun. Meskipun, radikalisme dan intoleransi meningkat di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan.
“Pelibatan militer dalam urusan keamanan sebaiknya diminimalisir dan menjadi pilihan terakhir atau the last resort,” ujar Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, di Jakarta, Selasa (12/5/2020).
Pelibatan TNI, lanjut Bonar, baru dilakukan apabila dalam penindakan dibutuhkan pengerahan kekuatan di atas normal. Namun bila masih dalam batas normal, seperti pengintaian, penggalangan, pencegahan, termasuk juga penindakan dalam operasi keamanan terkendali, pelibatan TNI tidak banyak diperlukan.
Menurutnya, kritik pokok sejumlah kalangan termasuk pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap pelibatan TNI, dikarenakan Indonesia memilih extended criminal justice system atau sistim peradilan pidana. Dimana sistem tersebut diperluas dengan mengedepankan pencegahan sebagai mekanisme hukum menangani terorisme.
Apalagi TNI bukanlah bagian dari law enforcement atau penegak hukum dan sampai sejauh ini pun TNI tetap tidak mau tunduk pada peradilan umum biasa. Padahal di negara yang menghormati supremasi sipil, untuk kasus yang melibatkan anggota tentara dan bukan urusan kedinasan atau kemiliteran, harus dibawa ke peradilan umum.
“Pelibatan militer dalam membantu kepolisian menangani terorisme di banyak negara bukanlah sesuatu yang tabu dan dimungkinkan. Hanya saja pelibatan itu harus terukur dan sesuai dengan kebutuhan atau tingkat skala ancaman. Derajat keterlibatan militer diatur secara seksama dan terinci,” katanya.
Dalam UU TNI jelas diatur, bahwa setiap pengerahan harus mendapat persetujuan presiden dan diketahui parlemen. Meskipun pelibatan TNI dalam menangani terorisme dikategorikan sebagai operasi non militer selain perang, tetap harus sesuai dengan mekanisme diatas.
Karena itu, rancangan Perpres yang sedang dibahas di DPR harus fokus tentang skala ancaman seperti apa, kondisi seperti apa, dan bagaimana Komando Operasi Khusus (Koopsus) berkoordinasi dengan Kepolisian ketika skala ancaman dikategorikan genting.
“Sejauh mana skala ancaman terorisme di Indonesia sehingga kemudian TNI sebagai kekuatan pertahanan harus dilibatkan. Apakah ada penguasaan teritori atau serangan terhadap teritori Indonesia. Kemudian apakah pihak kepolisian sebagai penegak hukum telah kewalahan serta perlu mendapat bantuan pelibatan TNI. Ini yang harus diperhatikan dalam pelibatan TNI tersebut,” ujar dia.