PALU – Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan gerakan intoleransi, radikalisme, dan terorisme harus terintegrasi antarlembaga, kementerian, badan. Karena itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam penanggulangannya mengedepankan dua pendekatan perangi terorisme yakni tanpa kekerasan (soft approach) dan penindakan yang melibatkan pihak-pihak terkait (hard approach).
Hal itu diungkapkan Sekretaris Utama (Sestama) BNPT, Brigjen TNI Untung Budiharto, dalam rapat koordinasi teknis implementasi rencana aksi keserasian sosial dan kearifan lokal dalam penanggulangan terorisme, di Palu, Rabu (5/8/2020).
“Harus terintegrasi yang di dalamnya juga melibatkan masyarakat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam pendekatan tanpa kekerasan (soft approach), pihaknya melakukan deradikalisasi, kontrak radikal, kesiapsiagaan nasional, dan sinergitas antar-lembaga, kementerian, badan, forum dan masyarakat.
Meski begitu, kesemua pendekatan tersebut, dapat terlaksana dengan baik dalam implementasinya, bila ada sinergitas atau kerjasama yang baik dengan semua pihak, kementerian, lembaga, badan, forum dan masyarakat.
“Terorisme adalah musuh bersama, dan menjadi satu tantangan dan masalah besar yang dihadapi bangsa ini selain narkoba. Olehnya, ini butuh kerjasama semua pihak,” kata dia.
Untung menambahkan, salah satu mitra BNPT, yaitu Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).
Kemenko PMK menjadi mitra strategis dalam pelaksanaan pembangunan manusia dan kebudayaan yang responsif pencegahan terorisme, radikalisme dan intoleransi.
Bahkan tahun 2019, bersama Kemenko PMK lewat program keserasian sosial dan kearifan lokal dalam penanggulangan terorisme, terdapat 128 kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan terorisme dilakukan.
Kemudian tahun 2020, sebanyak 262 kegiatan dilakukan. Tidak hanya sekedar mencegah terorisme, tetapi kegiatan-kegiatan tersebut juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Oleh karena itu, pihaknya berharap besar dengan adanya keterlibatan semua pihak dapat memberikan satu perubahan paradigma di masyarakat, khususnya adanya tranformasi pemikiran dari radikal menjadi moderat, untuk memerangi tumbuh dan berkembangnya gerakan radikal, terorisme dan intoleransi.
“Karena, sampai saat ini, termasuk di masa pandemi COVID-19, aktivitas gerakan mereka ada. Bukan menurun, bahkan malah meningkat. Kegiatan mereka lewat media sosial,” ujar dia.
“Karena itu, kami perlu sinergi agar kami bisa hadapi masalah-masalah tersebut yang berkaitan dengan intoleransi, radikalisme dan terorisme,” Untung melajutkan.