Waspada Istilah Kembali ke Al Qur’an dan Hadist

Nasional5 Dilihat

JAKARTA – Karakter manusia Indonesia adalah manusia pejuang pantang menyerah yang membangun peradabannya dengan modal persatuan. Karenanya, memahami sejarah bangsa adalah sebuah kewajiban, sebab sejarah adalah penting untuk menguatkan karakter bangsa.

Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Bayt Quran, Syarullah Iskandar, mengatakan saat ini perlu diwaspadai ada pihak-pihak yang memunculkan istilah ‘kembali ke Al Qur’an dan Hadist’.

Menurutnya, kelompok ini sedang berupaya memutus sejarah keilmuan atau silsilah keilmuan agama Islam yang sudah terbangun selama ini.

“Mereka mengatakan ‘oh tidak usah kita mengikuti mahzab ini itu’ yang sebenarnya secara tidak langsung mereka justru sedang membangun mahzab baru, dan itu bahaya,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (8/8/2020).
 
Menurutnya, untuk memahami dan menggali teks-teks keagamaan perlu pendampingan orang yang berkompeten untuk terus berguru. Karenanya, dalam agama sebenarnya adalah fas`alu ahla adz-dzikri  “bergurulah kepada yang ahlinya”. 

“Kalau memahami Al Qur’an, misalnya hanya satu (1) ayat saja yang dipahami dan tidak dikaitkan dengan ayat yang lain, tentunya pasti ada yang kurang mengena pemahamannya,” kata dia.

“Hadis pun demikian. Karena mereka itu parsial ketika membaca sesuatu, tidak universal. Istilahnya kacamata kuda. Karena sumber mereka terbatas sesuai doktrin dari para gurunya dan tidak mencoba menelaah dari sumber-sumber lain,” Syarullah menambahkan.

Lebih lanjut, Syarullah mengungkapkan, selama dirinya menjadi narasumber dalam program deradikalisasi di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menyadari bahwa mereka yang telah terpapar paham radikal terorisme itu, karena dulunya mereka dicekoki doktrin begitu saja tanpa melakukan tabayyun atau menelitu terlebih dahulu.

Ia menyarankan adanya upaya pencerahan kepada masyarakat untuk mencegah dan melindungi dari paham tersebut.

Syarullah mengajak para penceramah untuk menggunakan metode yang lebih friendly dalam menyampaikan dakwah agar lebih mudah ditangkap dan dicerna oleh nalar masyarakat dan kaum milenial.

Sebagai contoh misalnya ‘frekuensi’ dalam memberikan pemahaman keagamaan agar lebih mengena ke masyarakat, harus ditingkatkan. Kedua pengembangan metode memberikan arahan, karena generasi milenial banyak perubahan dari yang sebelum-sebelumnya.

“Misalnya dia lebih visual ketimbang baca teks, nah kecenderungan-kecenderungan ini harus dibaca kemudian diisi dengan konten-konten yang menarik,” ujarnya.
 
Selain itu, ia menyarankan agar pemerintah juga merangkul tokoh agama dan masyarakat. Sebab tokoh agama mempunyai massa, sehingga ketika dirangkul diharapkan mereka bisa menularkan ilmunya kepada masyarakat.

“Dakwahnya tentu saja harus memberikan keteladanan, kemudian harus sesuai konteks zaman yang ada,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *