YOGYAKARTA – Pelibatan civil society atau ormas Islam dalam meningkatkan moderatisme Islam sangat ampuh mendukung penanggulangan terorisme di Indonesia. Karena itu, pelibatan tersebut menjadi vital dalam membantu pemerintah melaksanakan program penanggulangan terorisme, terutama pencegahan.
Hal itu diungkapkan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, dalam sarasehan “Meneguhkan Moderatisme Islam: Pencegahan Radikalisme Terorisme di Kalangan Dosen dan Mahasiswa Muhammadiyah” yang digelar Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Yogyakarta, Kamis (19/11/2020).
Ia menjelaskan, dengan penguatan moderatisme Islam oleh ormas-ormas Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan ormas Islam moderat lainnya, akan menjadi kekuatan yang luar biasa dalam melawan radikal terorisme.
“Kalau NU dan Muhammadiyah kembali ke khittah akan membuat negara ini menjadi “baldatun thoyyibatun warrobun ghofur” (negeri yang tentram, subur, aman, nyaman dan damai),” kata dia.
Menurut dia, penanggulangan radikal terorisme tidak bisa hanya dilakukan oleh institusi negara atau pemerintah, tetapi harus dilakukan segenap elemen bangsa. Pasalnya, terorisme adalah musuh bersama atau common enemy dan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).
“Artinya apa? Mayoritas bangsa Indonesia ini adalah moderat tetapi banyak diam, makanya disebut silent majority, sementara kelompok radikal terorisme itu sedikit tetapi mereka berisik dan pola radikalisasi menggunakan media,” katanya.
Karena itu, lanjut Ahmad, semua elemen bangsa harus bersama-sama melakukan kontra radikalisasi, baik narasi, ideologi, maupun kontra propaganda juga dengan menggunakan media.
BNPT juga terus meningkatkan fungsi koordinasi dengan melibatkan Kementerian/Lembaga. Dalam hal ini BNPT telah melakukan MoU dengan 38 K\L terkait.
“Tinggal kita optimalkan ke depan. Tentu saja kami komit untuk selalu melibatkan elemen masyarakat civil society moderat dalam menanggulangi radikal terorisme,” ujar dia.
Selain ormas Islam, mahasiswa, akademisi, dosen, guru juga sangat signifikan dalam memberikan moderasi umat. Sebab kalau bicara radikal terorisme yang mengatasmakan agama bukan monopoli agama tertentu, tetapi ada di seluruh agama, sekte, kelompok.
Contohnya, ketika bicara radikalisme di Papua, seperti pembakaran masjid di tolikara, tentu pelakunya oknum yang beragama katolik karena mayoritas disitu beragama katolik.
“Ketika bicara masalah radikal terorisme di Myanmar, disitu korbannya malah umat Islam, akibat provokasi dan adu domba oknum biksu beragama Budha,” ujarnya.
“Radikal terorisme mengatasnamakan agama, biasanya dimonopoli oleh agama yang menjadi mayoritas di suatu wilayah. Jadi kalau di Indonesia mayoritas Islam, otomatis tersangka, terpidana, terdakwa terorisme di Indonesia, beragama islam. Tapi sekali lagi tidak ada kaitannya antara terorisme dan agama,” Ahmad menambahkan.
Terorisme mengatasnamakan agama, terutama Islam adalah fitnah bagi Islam. Karena umat Islam yang dirugikan. Bahkan justru memecah belah umat islam, bertentangan dengan prinsip rahmatan lil alamin dan memunculkan islamofobia (ketakutan kepada islam).
“Radikal terorisme mengatasnamakan agama adalah gerakan politik untuk mengambil alih kekuasan dan mengganti sistem dan ideologi negara, mereka bertentangan dengan konsensus nasional dalam konstitusi yaitu Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI,” katanya.
Ada dua program penanggulangan terorisme yang dilakukan BNPT, yaitu pencegahan dan penindakan. Sesuai Undang-Undang (UU) tentang Terorisme yaitu UU Nomor 5 Tahun 2018 yang dikuatkan dengan PP Nomor 77 Tahun 2019.
Ia menambahkan, pencegahan dilakukan dengan menggunakan tiga strategi, yaitu kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi (kontra narasi, kontra propaganda, dan kontra ideologi), dan deradikalisasi
Meski begitu, penanggulangan radikal terorisme tidak bisa hanya di hulu saja, tapi juga harus sampai hilir. Dimana ada penegakan hukum, yang paling berkompeten adalah Polri yakni Densus 88 Anti Teror.
“Penanggulangan radikal terorisme harus dilakukan secara holistik, dari hulu pencegahan (kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi) dan hilirnya yaitu penegakan hukum atau law enforcement.” ujar dia.