JAKARTA – Ada dua aspek yang perlu menjadi perhatian agar sekolah bisa menjadi lembaga yang dapat melembagakan nilai toleransi terhadap perbedaan. Pertama, kebijakan pendidikan ditingkat pusat berkaitan dengan standar kompetensi nasional khususnya keagamaan. Kedua, kebijakan di tingkat lembaga pendidikan masing-masing.
Demikian dikatakan Komisoner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Nahe’i, di Jakarta, Rabu (10/2/2021).
“Sesungguhnya di tingkat kebijakan pusat sudah ada upaya-upaya untuk mencegah radikalisme yang berdampak pada intoleransi dalam beragama, yaitu konsep moderasi beragama yang digawangi Kementerian Agama (Kemenag),” ujarnya.
Namun hal itu, hanya terbatas di perguruan tinggi, khusunya perguruan tinggi Islam. Makanya, di beberapa perguruan tinggi Islam ada wadah yang disebut dengan rumah moderasi beragama. Walau begitu, perlu diapresiasi sekalipun belum menjadi gerakan yang massif.
Ia berharap, ada kebijakan baik dilingkungan Kementerian Agama (Kemenag) maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tentang keharusan moderasi beragama, mulai dari pendidikan paling bawah.
”Nilai-nilai toleransi, penghormatan terhadap keragaman harus ditanamkan sejak usia anak-anak. Salah satu kebijakan itu antara lain bagaimana menetapkan standar kompetensi sekolah,” kata dia.
Ia menambahkan, standar kompetensi keagamaan dan religius hanya diukur oleh pelaksanaan ibadah-ibadah formal dari masing-masing agama. Sehingga jika standar religius diukur oleh ibadah-ibadah formal saja, justru akan berdampak pada sikap eksklusifitas dalam beragama.
“Inilah akar radikalisme. Karena semua siswa akan merasa bahwa ibadahnya-lah yang paling benar dan yang lain salah. Kemudian dari aspek kebijakan di tingkat sekolah. Saya kira juga sama, harus mengubah standar kompentesi religiusitas siswa dengan kesalihan sosial seperti keadilan, penghormatan martabat manusia, hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Bukan semata keshalihan ritual individual,” kata dia.
Ia menyarankan adanya pelatihan pagi para pendidik di sekolah tentang moderasi beragama. Karena menuju pada sikap ramah terhadap perbedaan, diperlukan pemaham yang baik terhadap ajaran-ajaran agama.
“Menghadirkan tafsir agama yang komprehensif mendalam, khususnya bagi pendidik menjadi penting. Sehingga mereka tidak gamang untuk bersikap ramah terhadap orang lain yang berbeda,” katanya.
Menurut dia, banyak pendidik yang hanya bersikap toleran pasif, hanya karena ada aturan di sekolah, bukan berangkat dari kesadaran bahwa itu bagian dari ajaran agama. Tapi bila tenaga pendidik, sudah memiliki sikap dan kesadaran akan adanyaa perbedaan dan keharusan saling menghormati, maka selanjutnya bagaimana mensosialisasikan itu kepada anak didiknya.
“Di sisi lain perlu memasukkan moderasi beragama dalam kurikulum pendidikan atau menjadi perspektif setiap pendidik,” ujar dia.
Oleh sebab itu, secara formal apa yang telah diputuskan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri menjadi kesepakatan nasional untuk tujuan yang baik, yaitu menjaga keragaman dan saling menghormati.
“Secara subtantif, saya melihat bahwa negara atau lembaga pendidikan seharusnya memang tidak mengatur apalagi mewajibkan sesuatu yang hakikatnya sudah diwajibkan dan diatur oleh agama. Biarlah ia menjadi domain agama yang bersangkutan,” ujarnya.