Isra Miraj, Momentum Perkuat Komitmen Melawan Radikalisme dan Terorisme

Nasional3 Dilihat

JAKARTA – Isra Mi’raj merupakan suatu peristiwa spektakuler yang harus dipahami dengan deretan peristiwa sebelumnya. Karenanya harus dilihat sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW yang mulai berdakwah dari usia 40 tahun meskipun mendapatkan tantangan dan intimidasi dari masyarakat kafir Quraisy, namun tetap berjuang mendakwahkan Islam.

Wakil Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ali M. Abdillah, mengatakan peristiwa Isra Mi’raj harusnya dipahami oleh generasi penerus bangsa Indonesia untuk menghargai perjuangan nabi, sebagaimana perjuangan bangsa indonesia menghadapi penjajahan di masa lalu. Terutama dalam melawan radikalisme dan terorisme yang ingin merusak keutuhan bangsa.

“Kalau dikaitkan dengan bangsa Indonesia, hikmah Isra Miraj ini memiliki kesamaan dalam perjuangan melawan kolonialisme, yang membuat kondisi masyarakat selalu dihantui dengan kecemasan dan ketakutan. Alhamdulillah hasil dari perjuangan para santri, para kyai dan para tokoh masyarakat di Indonesia, Allah memberikan suatu anugerah, yaitu kemerdekaan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (10/3/2021).

Sudah tugas generasi penerus bangsa menjaga warisan kemerdekaan. Karena NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 menjadi perekat seluruh elemen bangsa.

“Jangan sampai hal ini dikhianati, apalagi dengan mengambil ideologi dari orang luar yang belum pernah teruji kemudian di uji coba disini,” katanya.

Dalam peristiwa itu, Rasulullah mampu menunjukkan diri sebagai seorang pemimpin yang bisa hadir ditengah-tengah masyarakat dengan berbagai suku dan agama. Dimana konsep yang dilakukan adalah dengan Piagam Madinah yang dalam konteks indonesia diadopsi dalam bentuk Pancasila.

Oleh karena itu, kata Ali, Pancasila merupakan model Piagam Madinah yang dicetuskan oleh para ulama dan para pendiri bangsa Indonesia. Apalagi sistem Piagam Madinah adalah sistem yang menghormati kebhinekaan dan kelompok lain yang tidak sejalan.

“Termasuk terhadap umat Nasrani, Majusi, dan Yahudi. Semua diberikan penghormatan dan juga hak-haknya,” kata dia.

Oleh sebab itu, jika sampai ada yang memiliki pemikiran ingin mencoba sebuah ideologi yang sebenarnya hanya imajinasi, tentu sangat berbahaya sekali. Contoh, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dinilai memiliki ideologi yang imajinatif.

“Jangan sampai bangsa Indonesia mau dibuat sebagai uji coba karena berisiko tinggi. Sistem yang dimunculkan oleh HTI dengan mengusung khilafah sudah tidak relevan lagi,” katanya.

“Pancasila inilah sebagai pemersatu bangsa, semua agama diberikan kebebasan untuk menjalankan perintah agamanya masing-masing tanpa saling mengganggu,” Ali menambahkan.

Ia berharap, masyarakat diedukasi secara kontinyu, baik berdasarkan Al-Qur’an maupun dengan hadist. Karena tidak ada satupun ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang perintah mendirikan khilafah. Nun manusia punya peran di kehidupan masing-masing yakni khalifah.

”Ada yang jadi presiden, menteri, kyai, dan ketua RT/RW. Ini memiliki peran masing-masing. Itulah fungsi khalifah untuk membangun sistem kehidupan di dunia ini, tetapi ini bukan khilafah,” ujar dia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *