JAKARTA – Beragama tidak boleh diartikan hanya sekadar prosesi ritual-formal. Namun lebih dari itu, beragama khususnya pemeluk agama Islam, tentu diajarkan menaati pemimpin (ulil amri) sebab sebuah negara akan sulit mencapai kestabilan tanpa adanya pemimpin.
Demikian dikatakan Pendiri NII (Negara Islam Indonesia) Crisis Center, Ken Setiawan, di Jakarta, Rabu (24/3/2021).
”Kestabilan tersebut dapat dicapai melalui pemberlakuan hukum yang mengatur segala aspek kehidupan bernegara, agar tercipta ketertiban dan keadilan,” ujar Ken Setiawan di Jakarta, Selasa (23/3/2021).
Ia menambahkan, dalam Islam kewajiban untuk taat kepada penguasa atau pemerintah sudah tertuang dalam surat An-Nisaa ayat 59 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan ulil amri kalian (pemegang kekuasaa) di antara kamu.”
Karena itu, dirinya khwatira akan kondisi yang sedang berlangsung di tanah air mengenai bahaya radikalisme, sebuah tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama. Apalagi sosial media berperan besar atas informasi yang begitu cepat termasuk hoaks yang sulit dibendung, seperti propaganda anti Pancasila semakin mengekskalasi dan mengikis nilai-nilai kebhinnekaan.
”Dewasa ini banyak sekali orang yang mengaku paling beragama, namun malah menyampaikan ujaran kebencian, caci maki serta hujatan termasuk kepada pemerintah dan hukum negara ini.” kata dia.
Oleh sebab itu, dirinya meminta seluruh elemen masyarakat cerdas menyikapi kondisi tersebut, dengan cara mengkampanyekan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika. Apalagi realita di lapangan, anak usia dini bahkan dipaksa menerima ideologi radikal dari oknum-oknum yang memanipulasi agama untuk menentang hukum dan aturan yang ada.
“Penanaman paham radikalis intoleransi pada anak usia dini ini sangat berbahaya. Karena ketika mereka dewasa nanti akan seperti buah yang matang tinggal petik, ditanamkan kebencian kepada negara ditambah polesan ayat-ayat jihad, maka meraka akan siap melakukan amaliah terorisme,” katanya.
Oleh sebab itu, pihaknya bergerak menerima aduan dengan membuka hotline yang ditujukan ke masayarakat luas. Selain itu, juga melakukan dialog-dialog dengan korban NII yang bertujuan untuk memberikan alternatif pemikiran kepada korban.
“Kita harus tabayyun ketika menerima informasi, jangan sampai terjebak dan menyebarkan berita yang tidak diketahui kebenarannya. Sekalipun mencantumkan ayat dalam kitab, kita harus cek agar tidak terkena atau melanggar UU ITE,” ujar dia.