JAKARTA – Menyampaikan kririk jangan sampai berisi ujaran kebencian atau hate speech. Selain itu, tidak mengarah kepada personal atau menyebut nama seseorang yang ujungnya bisa menjadi penghinaan dan pencemaran nama baik. Karenanya, harus menekankan kepada perbaikan-perbaikan.
Hal tersebut disampaikan Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah, di Jakarta, Kamis (17/6/2021).
”Kritik itu harus menegakkan solusi, bahasa kerennya itu kritik yang solutif, jangan mengkritik hanya karena kepentingan-kepentingan saja,” ujarnya.
Ia mengatakan, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk. Upaya bagaimana membangun demokrasi dalam konteks mengkritik, tetapi tetap dengan mengedepankan etika kesantunan publik. Pertama melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa kritik-kritik itu harus menempatkan pada persoalan aspek-aspek membangun kebersamaan, toleransi, mendekati empowerment atau memberdayakan masyarakat.
“Tapi kondisinya masyarakat kita ada yang minim literasi karena memang pendidikannya kurang dan masyarakat yang memiliki literasi yang baik. Nah ini bagaimana disinergikan, jadi memberdayakan mereka supaya saling bersinergi,” katanya.
Kririk harus ditempatkan atau jangan sampai berisi ujaran kebencian atau hate speech, juga jangan mengarah kepada personel atau menyebut nama seseorang entah itu presiden atau siapa, karena itu ujungnya nanti menjadi penghinaan dan pencemaran nama baik.
“Kritik itu harus menekankan kepada perbaikan-perbaikan,” kata dia.
Selain itu, kritik harus menegakkan solosi yang memberikan jalan keluar terhadap persoalan-persoalan yang ada. Namun kelemahan selama ini para pengkritik, baik di kembangkan oleh buzzer-buzzer atau pun yang dilakukan oleh sebagian akademisi, para LSM lebih menempatkan kepada persoalan-persoalan tidak solutif.
Selain itu, agar kritik tidak hanya solusi tetapi juga memberikan-masukan yang bisa dipakai untuk merumuskan suatu policy atau kebijakan yang sifatnya proporsional, berkeadilan dan kepastian hukum.
Karena itu menurutnya, perlu suatu edukasi kepada mereka-mereka yang suka memberikan kritikan terutama kelompok oposisi.
“Karena sifat budaya kita yang patron-klien, maka patronnya atau tokohnya dulu yang harus dibenahi. Jadi nanti publiknya atau kliennya atau pendukungnya otomatis akan terbawa atau terbenahi pada situasi track record yang menjunjung namanya perbedaan atau toleransi,” jelas Trubus.
Apalagi menurut Trubus, harus juga ditekankan bagaimana persoalan yang berbau SARA dan ujaran kebencian serta yang berbau penghinaan, pencemaran, dan berita bohong serta hasutan ditempatkan pada tataran yang negatif.
”Kelompok-kelompok kepentingan ini yang harus diberikan suatu edukasi atau pemahaman yang sama atau yang tunggal tentang pentingnya melakukan kritik yang konstruktif. Sehingga kebijakan yang dibuat nanti merupakan kebijakan yang betul-betul mewakili kepentingan berbagai pihak,” ujar dia.
Selama ini, lanjutnya, kritik-kritik yang ada sering dipahami oleh masyarakat awam, pada tataran membangun emosi. Karena itu, harus terus-menerus dilakukan edukasi agar konstruksi mengenai emosi lebih ditempatkan kepada yang berbau SARA.
“Masyarakat akar rumput ini diberikan penjelasan dan pemahaman,” katanya.