SLEMAN – Dunia maya dihebohkan aksi dua pemuda di Lumajang yang berupaya merusak sesajen sedekah bumi milik warga setempat. Pelaku berdalih memberantas kemusyrikan. Tentunya aksi tersebut menjadi bukti masih lemahnya kesadaran berbangsa dan beragama yang berlindung dibalik paham kebebasan berekspresi, beragama, dan menyampaikan pendapat.
“Jadi bukan soal sesajen itu haram atau tidak. Kita bisa berbeda pendapat soal itu (sesajen), tapi yang jelas tidak boleh mengambil hak orang lain. Ketika ada orang memaksakan ajarannya kepada orang lain di negara ini, itu merupakan pelanggaran,” ujar Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid, di Sleman, Senin (17/1/2022).
Ia menilai, ada beberapa hal menarik yang pada insiden merusak sesajen, di antaranya banyaknya kelompok pendukung aksi tidak beradab, intoleran, dan bahkan hingga menjadi perdebatan di kalangan netizen.
“Kenapa banyak yang mendukung? Karena mereka menganggap sedang menjalankan perintah agama. Tapi dia juga lupa, bahwa menghormati hak orang lain itu termasuk perintah agama,” katanya.
Demikian juga termasuk perintah menaati peraturan, membangun kehidupan bersama, dan membangun kemaslahatan umat. Karena tidak etis jika ujaran atau perilaku yang demikian, dianggap sebagai kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berpikir.
“Dalam Al-Quran tertuang, ‘La Iqro Hafidzin’, yaitu tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Itu panduan, jadi kebebabsan berpendapat itu betul, tapi tidak sama dnegan bertindak semau-maunya,” kata dia.
Menurut dia, praktik intoleransi di negeri ini kian hari, makin subur di tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan masifnya narasi dan pemahaman keagamaan yang keliru. Padahal dalam Al-Quran Surat Al Maidah ayat 8 dikatakan ‘Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa’.
“Seseorang yang berlaku intoleran, tidak memahami kaidah hidup beragama yang sudah digariskan didalam Islam. Soal keadilan itu sudah jelas sekali tertuang didalam Al-Quran,” ujar Alissa.
Masyarakat tidak semata-mata menfasirkan sesuatu secara tekstual atau mempedomani satu perintah saja untuk dipraktikan, namun tidak memahami makna dan nilai dibaliknya, Sehingga tidak mendapatkan kaidah hidup beragama yang sudah diwariskan dalam ajaran islam.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan kelompok moderat agar bersikap bijak, ketika menghadapai fenomena kasus intoleransi dan ujaran kebencian atas nama agama.
Pertama, tokoh moderat serta pemuka agama perlu menyampaikan pendapatnya, karena kalau tidak berpendapat, seakan-akan menjadi hal yang dianggap benar. Karenanya, tokoh moderat dan pemuka agama perlu menasehati dan meluruskan pemahaman keagamaan yang dangkal seperti itu.
Kedua, perlunya memperkuat hubungan antar kelompok masyarakat yang masih ingin merawat bangsa Indonesia. Karena dirinya melihat masih banyak kelompok yang maunya merawat kelompoknya saja.
“Jadi itu penting kita bersuara dengan lantang, bahwa kita tidak ingin tindakan seperti ini tumbuh subur di Indonesia. Saya berharap hal ini akan dapat menghimpun dan menimbulkan suara yang lantang menolak praktik intoleransi di bumi pertiwi,” katanya.
Disamping, ada peran aktif pemerintah dalam mendorong upaya melindungi bumi pertiwi dari praktik intoleransi dan ujaran kebencian atas nama agama, suku, bahkan ras. Untuk menciptakan lingkungan yang baik bagi penerus bangsa kedepannya.
“Dari sisi pemerintah juga perlu adanya penindakan tegas dan menjadikan kasus intoleransi tadi menjadi pelajaran, serta memperkuat barisan sebagaimana telah adanya RAN-PE (Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme berbasis kekerasan) dan Peta Moderasi Beragama,” ujar dia.