LEBAK – Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa harus dibentengi dari paham-paham yang ingin merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti intoleransi, radikalisme dan terorisme.
Salah satu upaya tersebut adalah dengan membekali generasi muda akan pemahaman nasionalisme serta kiprah para pendahulu bangsa, baik itu pejuang kemerdekaan, kiprah wali songo, dan sejarah kerajaan-kerajaan besar Indonesia dulu.
“Generasi muda harus tahu bagaimana pejuang meraih kemerdekaan, juga kiprah wali songo yang menyebarkan agama Islam dengan penuh toleransi tanpa harus menyakiti agama lain. Juga bagaimana dulu kerajaan-kerajaan besar lewat peninggalan-peninggalannya yang luar biasa,” ujar Habib Luthfi bin Yahya saat menjadi narasumber Silaturahmi dan Dialog Kebangsaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), tokoh masyarakat, dan tokoh agama sebagai pencegahan paham radikal terorisme Provinsi Banten di Pondok Pesantren Nurul Falah, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Senin (7/2).
Anggota Wantimpres RI ini tidak pernah henti menyuarakan ajakan kepada seluruh pihak untuk membentengi generasi muda dari paham radikal terorisme.
“Ini penting, karena generasi muda adalah pemegang estafet keberlangsung NKRI,” kata dia.
Menurutnya, Indonesia adalah anugerah luar biasa dari yang maha kuasa dengan berbagai kelebihannya. Tidak hanya subur tanahnya dan kaya akan sumber daya alam, bahkan memiliki berbagai keragaman yang berhasil dikelola dengan baik sejak dulu kala.
Kebinekaan dan Toleransi Mampu Satukan Indonesia
Habib Luthfi mengaku telah mempelajari makna kebhinnekaan dan toleransi di Indonesia. Dari situ ia mengaku kagum dengan para pendahulu bangsa yang mampu menyatukan Indonesia dari Sabang sampai Merauke dalam bingkai NKRI.
Karena itu, ia berkesimpulan bahwa setelah membolak-balik sejarah, bangsa Indonesia ternyata bukan keturunan bangsa penjajah, tetapi bangsa yang rasional dan intelektual. Sehingga menjadi tantangan bersama agar NKRI tetap jaya di tengah gangguan berbagai paham-paham transnasional.
“Yang jadi pertanyaan, apakah generasi penerus ini sudah dipersiapkan untuk menjawab tantangan tersebut?,” tanya Habib Luthfi.
Habib Luthfi juga mendukung upaya BNPT dalam melindungi generasi muda dari paham radikal terorisme. Karena itu, kegiatan silaturahmi dan dialog kebangsaan yang kerap dilaksanakan sangat bagus untuk menggugah pemerintah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama untuk bersatu memerangi paham kekerasan tersebut.
“(Ini) memberikan pemahaman kepada generasi muda tentang pentingnya nasionalisme,” katanya.
Ia menambahkan, generasi muda harus mencontoh bagaimana dulu Kerajaan Majapahit mampu menyatukan Indonesia. Dimana saat itu Raja Hayam Wuruk atau Brawijaya dalam melakukan pendekatan terhadap umat Islam sampai memberikan tanah di Ampel.
“Pada waktu itu, menteri pertanian dan menteri ekonomi yang diangkat adalah Maulana Malik Ibrahim, sementara Menkeu Maulana Asmorodono,” katanya.
Contoh lainnya, kata Habib Luthfi, di zaman Sunan Kudus, mampu mencegah pertumpahan darah hanya karena masa itu Kudus dipimpin seorang raja bernama Poncowati yang beragama Hindu.
“Saat itu hampir terjadi pertumpahan hanya gara-gara sapi, karena umat Hindu memang menganggap sapi sebagai hewan yang diagungkan. Sunan Kudus berkeliling sambil menuntun sapi dan menerangkan secara ilmiah agar tidak ada penyembelihan sapi. Alhasil sampai saat ini orang Kudus tidak ada yang memotong sapi,” ujar dia.
“Disitulah kita harus terus belajar membangun ukhuwah, persatuan dan kesatuan yang dirintis Sunan Kudus. Dan akhirnya, keraton Poncowati diberikan kepada Sunan Kudus, tapi Sunan Kudus tidak mau karena sudah ada Kerajaan demak. Sunan Kudus tidak ingin membuat negara dalam negara. Kurang apa sejarah Indonesia ini, kalau mau kita pelajari,” lanjut dia.
Tidak hanya itu, dulu candi-candi seperti Borobudur, Prambanan, dan Mendut dibangun. Saat itu bangsa Indonesia sudah memiliki teknologi canggih sehingga candi-candi itu sekarang masih berdiri kokoh, meski hampir setiap tahun terkena terdampak erupsi gunung Merapi. Padahal jaman itu tidak teknologi canggih seperti sekarang.
Lebih luar biasa lagi, sekarang candi-candi itu mampu mendatangkan devisi yang bisa dinikmati oleh tidak satu agama saja, tetapi seluruh umat beragama yang tinggal di sekitarnya.
“Ini PR (pekerjaan rumah) apakah kita mampu melanjutkan amanat para sesepuuh dan pendiri bangsa ini? Atau jadi generasi yang mengecewakan para pendahulu,” katanya.
Pentingnya Wawasan Nasionalisme
Sementara Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafli Amar, mengatakan nasionalisme menjadi sangat penting diberikan generasi muda di tengah ‘serangan’ ideologi radikal terorisme yang mengancam kehidupan harmoni di NKRI.
Karena itu, BNPT menggunakan tagline “Indonesia Harmoni” karena dengan menjaga kerukunan, semangat persatuan, yang bisa mewujudkan tujuan akhir bagaimana Indonesia tetap harmoni.
“Mengapa nasionalisme dan harmoni ini harus dibicarakan di tengah kemajemukan Indonesia? Karena salah satu tentangan bangsa saat ini adalah mengatasi paham radikal terorisme yang berkembang sebagia idelogi berbasis kekerasan,” kata Boy Rafli.
Kekersan dalam bentuk apapun, lanjut Boy, adalah sebuah hal yang tabu dan dilarang di Indonesia oleh konstitusi NKRI. Karena itu, keseimbangan dan harmoni dalam berbangsa dan bernegara harus terus dijaga untuk mencegah idelogi berbasis kekerasan, intoleran, tidak mengakui negara, menghalalkan kekerasan dalam mencapai tujuan, dan sangat mungkin anti kemanusiaan dan melanggar ajaran agama.
Ada Warga Banten Bergabung dengan ISIS
Menurut dia, ideologi kekerasan berkembang dalam 20 tahun terakhir. Tidak hanya berdampak di Indonesia, tapi seluruh negara di dunia. Dimana umumnya ideologi terorime berlatarbelakang pemaksaan ideologi, memiliiki tujuan politik, dan ingin mengganggu ketentraman masyarakat.
Khusus Provinsi Banten, kata Boy Rafli, menyumbang beberapa warga berangkat ke Suriah dan Irak untuk bergabung ke kelompok teroris ISIS, dengan menjual harta benda bersama istri dan anak.
Dalam kurun 2011-2015, propaganda ISIS sangat masif. Pasca meninggalnya Osama bin Laden, salah satu petinggi Alqaeda, Abubakar Al-Baghdadi membuat organisasi sendiri bernama ISIS.
Ironisnya, Al Baghdadi tewas bunuh diri bersama keluarganya pada 2019. Pun pemimpin setelahnya, juga bunuh diri bersama keluarganya setelah terkepung pasukan koalisi di Suriah pekan lalu.
“Ini fakta ideologi berbasis kekerasan yang dikembangkan ISIS. Mereka rela anak istri diajak bom bunuh diri. Ini kondisi obyektif yang tidak sesuai dengan kepribadian kita. Agama apapun, Islam, Kristen, Hindu, Budha, kami yakin tidak ada hal-hal yang mengajarkan seperti itu,” katanya.
“Ini berkembang dalam 20 tahun terkahir. Indonesia kalau tidak memiliki ketahanan pada aspek ideologi kita akan mudah terpengaruh. Kalau tidak dilawan, akan banyak anak bangsa yang menjadi korban,” Boy mengakhiri.