Akhirnya Kemenhub Buka Suara Soal Perjanjian FIR

Nasional4 Dilihat

JAKARTA – Setelah sempat dikritik, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akhirnya buka suara terkait perjanjian ruang udara atau FIR yang ditandantangani oleh Pemerintah Indonesia dan Singapura beberapa waktu lalu.

Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati, menjelaskan pengaturan atas sebagian wilayah ruang udara Indonesia oleh negara lain (dalam hal ini Inggris yang kemudian dilanjutkan Singapura), sudah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka.

Ketika Indonesia mendapat pengakuan sebagai negara kepulauan, maka pemerintah terus melakukan berbagai upaya dan negosiasi penyesuaian FIR.

“Upaya serius mulai dilakukan sejak dekade 90-an dan kian intens dikerjakan dalam setengah dasawarsa terakhir,” ujarnya di Jakarta, Senin (31/1).

Menurut dia, ditandatanganinya kesepahaman bersama (MoU) antara Indonesia dan Singapura pada 25 Januari 2022, seharusnya patut bersyukur bahwa 249.595 km2 teritori Indonesia yang selama ini masuk ke FIR Singapura, akan diakui secara internasional sebagai bagian dari FIR Indonesia.

“Upaya negosiasi yang dilakukan sudah berbasis pemikiran mendalam, baik dari sudut pandang nasional maupun internasional, yang diiringi strategi matang dengan target yang terukur untuk kepentingan Indonesia,” kata dia.

Oleh sebab itu, pihaknya menepis pernyataan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, yang meragukan perjanjian itu.

“Terkait dengan komentar Prof Hikmahanto, bahwa area di bawah ketinggian 37 ribu kaki didelegasikan ke Singapura, hal ini perlu diluruskan agar tidak menimbulkan salah persepsi,” kata dia.

Ia menjelaskan, hanya ada 29 persen saja wilayah yang didelegasikan kepada operator navigasi Singapura, yakni area yang berada di sekitar bandara Changi. Hal itu dilakukan atas pertimbangan keselamatan penerbangan.

“Di 29 persen area yang didelegasikan tersebut, terdapat wilayah yang tetap dilayani oleh AirNav Indonesia untuk keperluan penerbangan di Bandara Batam dan Tanjung Pinang,” katanya.

“Indonesia juga mengelola pelayanan navigasi penerbangan pada wilayah negara lain (Christmas Island, dan Timor Leste),” lanjut dia.

Perjanjian realignment FIR, lanjut Adita, harus dipahami dari aspek nasional sekaligus internasional, bahkan tidak dapat dipisahkan. Apalagi, perundingan penyesuaian ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna, merupakan hasil yang maksimal dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip hubungan luar negeri yang harmonis, dan saling menguntungkan.

“Hasil yang diraih saat ini, merupakan bukti kesiapan aspek teknis operasional layanan navigasi,” ujarnya.

Seluruh pesawat udara yang terbang pada ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna, harus mendapatkan clearance dari otoritas penerbangan Singapura. Karena itu, apabila tidak segera diselesaikan, maka bakal terus berlanjut dengan kerugian dari semua aspek bagi Indonesia.

“MOU Indonesia-Singapura tentang FIR, telah membuka keuntungan lebih besar yang akan diperoleh RI, dengan pengendalian ruang udara di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna,” kata dia.

Pemerintah sangat terbuka terhadap masukan, saran, bahkan kritik terkait FIR. Namun itu disampaikan berdasar pada informasi yang benar, analisa komprehensif, dan akurat.

Apalagi pemerintah berkepentingan menjaga aspek keselamatan penerbangan dan compliance ke standar internasional, yang selama ini selalu menjadi prioritas utama dan telah terbukti berhasil membawa Indonesia lepas dari daftar hitam penerbangan di Uni Eropa dan Amerika.

“Jalan negosiasi untuk menyesuaikan FIR ini bukanlah jalan mudah dan pendek. Kami berharap semua pihak dapat bersama-sama mendukung upaya perjuangan sampai MoU ini efektif dan bisa kita rasakan manfaatnya sebagai bangsa yang berdaulat,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *