ASN Polri Harus Mewaspadai Radikal Terorisme dan Intoleransi di Lingkungannya

Nasional1492 Dilihat

JAKARTA – Pegawai Negeri atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja di lingkungan Polri dan keluarganya, harus mewaspadai penyebaran radikalisme, terorisme, dan perbuatan intoleransi yang ada di lingkungan sekitarnya. Bukan tidak mungkin, paham-paham negatif tersebut, dapat masuk di lingkungan kerja dan juga tempat tinggalnya.

Demikian dikatakan Deputi I bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Mayjen TNI Roedy Widodo, saat menjadi narasumber dalam acara Pembinaan Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme Kepada Pegawai Negeri pada Polri dan Keluarga di Lingkungan Mabes Polri, yang diselenggarakan Asisten Sumber Daya Manusia (As SDM) Polri, di Hotel Grand Kemang, Jakarta, Rabu (5/6/2024).

“Untuk mengenal bahaya radikalisme, intoleransi, maupun terorisme ini harus diketahui sejak awal, sebagai pembekalan untuk diri kita sendiri. Bahkan bukan hanya seorang ASN ataupun anggota (polisi) saja, tetapi juga untuk seluruh masyarakat,” ujarnya.

Baca Juga: Konsep Ketuhanan dalam Bingkai Pancasila

Roedy Widodo menambahkan, pembekalan kepada pegawai negeri dan juga anggota Polri ini, menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami mengenai bahaya penyebaran paham tersebut.

Karena dari hasil survey atau penelitian, sebanyak 72 persen toleran, tetapi dari sisanya yang hampir 30 persen itu sudah intoleran, baik pasif maupun aktif, dan 5 persen sudah terpapar.

“Kita harus memahami atau kalau sudah memahami, kita bisa mencegah apa yang perlu diantisipasi,” kata dia.

Baca Lagi: Pancasila Menyatukan Segala Perbedaan Suku, Agama, Budaya, dan Bahasa

Menurut dia, dalam melindungj ASN Polri dan keluarganya dari pengaruh paham radikal, terorisme, dan intoleransi, perlu membekali diri dengan pengetahuan yang sangat bagus atau sangat kuat untuk dapat meningkatkan public resilience (daya tahan) ataupun imunitas, agar tidak terpapar paham-paham radikal tersebut.

“Seperti halnya virus Covid-19, agar tidak terkena virus covid tersebut, maka harus diobati dengan imunisasi. Agar kita tidak terpapar paham radikal, diri kita juga harus seimbang, agar imun dari paham paham tersebut. Caranya yaitu kita harus bekali dengan berbagai macam pengetahuan ataupun pengalaman-pengalaman terkait dengan bahaya radikalisme dari sejak dini,” jelas dia.

Perempuan dan Anak-anak Jadi Target Kelompok Radikal Terorisme

 

Mayjen Roedy menjelaskan, dari hasil penelitian saat ini kelompok perempuan, remaja dan anak-anak menjadi target untuk direkrut oleh kelompok radikal terorisme dan intoleran tersebut. Dimana pola rekruitmen yang dilakukan saat ini menggunakan kemajuan teknologi informasi yaitu internet melalui platform media sosial.

“Kelompok-kelompok tersebut cara merekrutnya tidak lagi bertemu langsung seperti dulu, tetapi sudah memanfaatkan teknologi digital atau internet dengan menggunakan media sosial seperti WhattAp, Telegram, dan sebagainya. Terutama terhadap tiga kelompok rentan tersebut yaitu perempuan, remaja dan anak anak,” ujarnya.

Baca Lagi: BNPT RI – UNODC Sepakat Melindungi Anak dari Terorisme

Ia berharap, kepada ASN dan juga anggota Polri kedepannya untuk dapat lebih mewaspadai pola pola rekruitmen yang dilakukan kelompol radikal terorisme, sebagai upaya menangkal paham ataupun bahaya intoleransi, radikalisme dan terorisme dari awal.

Dalam rangka menanggulangi terorisme, bukan hanya dilakukan oleh BNPT semata, tetapi seluruh stakeholder yang ada dan seluruh masyarakat. Dengan pendekatan secara pentahelix yaitu melibatkan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.

Tak hanya itu, masyarakat atau ormas, melibatkan media, BUMN, BUMD atau pengusaha, dan akademisi, saling berkolaborasi dalam program pentahelix tersebut.

Jenjang Aksi Terorisme Berawal dari Intoleransi

 

Sementara, mantan napi terorisme dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Poso, Hendro Fernando, yang juga hadir sebagai narasumber mengungkapkan, sikap intoleransi, radikalisme, dan terorisme adalah sebuah proses yang tidak berdiri sendiri. Ada anak tangga yang dilalui yaitu pertama intoleransi, radikalisme, dan terorisme.

“Jadi ada proses dimana pertama-tama kita tidak bisa mentoleris kelompok-kelompok orang lain yang merasa dirinya paling benar, tidak mau menghargai perbedaan yang ada, menganggap agama lain itu salah, NKRI atau pemerintah ini semuanya thoghut dan sebagainya. Itu yang pernah saya alami dulu,” ujarnya.

Baca Lagi: Korban Terorisme di Jawa Barat Diberi Pemberdayaan dan Pendampingan Psikologis

Dalam pembekalan yang diikuti para pengurus Masjid yang berada di komplek Polri ini, dirinya mengingatkan kepada para peserta yang hadir untuk selalu mnewaspadai ajaran salafi dan wahabi yang pernah diikutinya dulu melalui berbagai kitab-kitab, sebagai awal mula masuk kedalam jaringan terorisme.

“Pihak terkait dari internal Polri juga harus menyikapi kitab-kitab apa saja yang dipelajari di lingkungan masjid tersebut. Kitab-kitab yang bertebaran harus di assessment,” kata dia.

“Karena menjadi rujukan kami dulu saat masuk ke dalam jaringan terorisme, itu bisa masuk ke dalam masjid-mesjid yang ada di lingkungan Polri tersebut,” katanya lagi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 komentar