JAKARTA – Meski pemerintah gencar menangkal penyebaran radikalisme di masyarakat, namun ada yang luput dari perhatian pemerintah, yakni maraknya perekrutan gaya baru model gerakan radikal Negara Islam Indonesia (NII) dan sejenisnya.
Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan, mengatakan pihaknya merasa prihatin dengan gaya perekrutan model baru tersebut. Karenanya, bersama sejumlah eks aktivis radikal yang merasa bertanggung jawab terhadap bangsa mendirikan lembaga tersebut.
“Ini merupakan perwujudan tanggung jawab moral anak bangsa, karena melihat korban yang terus berjatuhan dari kalangan muda akibat perekrutan gerakan radikal,” ujarnya di Jakarta, Senin (16/12/2019).
Ken menjelaskan, kelompok radikal gaya baru menggunakan demokrasi sebagai celah untuk masuk ke masyarakat, melalui organisasi masyarakat (ormas) legal. Bahkan kegiatan yang dilaksanakan seolah-olah membantu masyarakat, akibatnya publik banyak tertipu dengan propaganda tersebut.
“Ini sangat berbahaya sebab gerakan mereka cukup masif, sementara pencegahan masih sangat minim, sehingga banyak korban berjatuhan dari kalangan generasi muda,” katanya.
“Mereka masuk ke masyarakat dengan metamorfosa lewat berbagai macam nama ormas sebagai propaganda agar masyarakat tidak curiga,” Ken menambahkan.
Menurutnya, meski sebatas radikal pemikiran, namun kelompok tersebut sangat berbahaya. Sebab tiap saat mengajarkan kebencian terhadap orang diluar kelompok kepada pemerintah, aparat, dan menganggap Pancasila sebagai taghut (berhala).
“Dalam doktrin mereka (Pancasila) harus di tolak, di ingkari, dan ditinggalkan,” ujar dia.
“Semua kelompok radikal menganut paham anti Pancasila dan menganggap sebagai taghut/ berhala,” Ken melanjutkan.
Ia menegaskan, akibat dari gaya perekrutan modern itu, menjadikan gerakan radikal semakin besar dan dapat merusak norma agama, sosial, dan bisa merongrong kedaulatan NKRI dimasa mendatang.
Selain itu, intoleransi juga telah menjadi penyakit akut bangsa, dimana pelakunya tidak mau menerima perbedaan, bahkan menganggap kelompoknya yang paling benar.
“Ini bisa menjadi pintu gerbang radikal dan terorisme,” kata Ken.
Oleh karenanya, Ken mengajak semua elemen untuk mensosialisasikan dampak buruk dari kelompok itu. Juga berharap pemerintah atau instansi terkait gencar melakukan pencegahan, sehingga dapat mengantisipasi meluasnya gerakan radikal yang berbasis agama.
“Tindakan pencegahan dari instansi terkait minim. Disamping lemahnya sosisalisasi dan minimnya akses informasi di masyarakat tentang isu radikalisme,” katanya.
Ken menyebutkan, mobilitas kegiatan aktivis gerakan radikal yang sangat tinggi, mengakibatkan jatuhnya korban yang tiada henti dari kalangan masyarakat, terutama pelajar dan mahasiswa. Dimana mereka mulai mengkafirkan orang lain termasuk orang tua, meninggalkan sekolah, kampus, dan pekerjaan demi aktif di kelompok radikal.