WASHINGTON – Badan intelijen Five Eyes Amerika Serikat, Inggris, Selandia Baru, dan Australia diduga menuduh Cina membuang bukti wabah Coronavirus (Covid-19), yang menurut mereka sama dengan “serangan terhadap demokrasi internasional”.
Dirilis The Daily Telegraph, Sabtu (2/5/2020), dalam dokumen penelitian setebal 15 halaman, Five Eyes menjelaskan dugaan tersebut, bagaimana pemerintah Cina dengan sengaja menutupi virus corona dengan menghancurkan bukti dari laboratorium Wuhan dan menolak untuk memberikan sampel virus langsung kepada ilmuwan internasional yang mengerjakan vaksin.
Dokumen itu juga mengklaim bahwa pihak berwenang Cina membantah COVID-19 dapat menyebar di antara manusia sampai 20 Januari. Meskipun ada bukti penularan manusia-manusia dari awal Desember tahun lalu.
Karena itu, Five Eyes menyalahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) karena mendukung sikap Beijing tersebut.
Tuduhan itu muncul setelah Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, mengatakan Canberra tidak memiliki apa-apa dalam hal bukti untuk mendukung spekulasi, bahwa wabah COVID-19 datang dari laboratorium Cina akhir tahun lalu.
Morrison menambahkan, meskipun “kita tahu (wabah) itu dimulai di Wuhan, China, dan skenario yang paling mungkin telah diselidiki terkait dengan pasar basah satwa liar, itu adalah masalah yang harus dinilai secara menyeluruh,” kata Morrison.
Pernyataan itu mengikuti Presiden AS, Donald Trump, yang sehari sebelumnya menyebut belum melihat pernyataan intelijen tersebut.
Namun Kepala Staf Gabungan AS, Jenderal Mark Milley, menyatakan komunitas intelijen negara sepakat bahwa coronavirus adalah pandemi alami dan tidak terkait dengan fasilitas laboratorium di Wuhan.
Sebelumnya, Cina dengan keras menampik tuduhan bahwa mereka bereaksi terlalu lambat. Meskipun otoritas kesehatan di Wuhan, merevisi jumlah kematian lokal hingga 50 persen, menjadi 3.869 dari 1.290 yang dilaporkan.
Dalam perkembangan, Donald Trump menarik dana untuk WHO setelah menuduh berkonspirasi dengan Cina untuk menyembunyikan keadaan sebenarnya tentang virus corona.