Begini Cara Bentuk Karakter Anak agar Toleran

Nasional690 Dilihat

JAKARTA – Pembentukan perilaku anak didasarkan banyak faktor. Pola orang tua mendidik dan menanamkan nilai pada anak-anaknya juga penting. Namun perlu diingat bahwa bagaimanapun anak-anak punya proses kehidupannya sendiri.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, Maharani Ardi Putri, mengatakan soal kasus bullying atau perundungan yang sudah beberapa kali meramaikan berbagai media, hal tersebut disebabkan karena pelaku bullying tidak ditanamkan pemahaman tentang konsep toleransi terhadap pihak yang berbeda atau berseberangan. 

Pelaku perundungan cenderung melakukan hal yang agresif, merugikan orang lain, bahkan berani menentang hukum, karena merasa memiliki nilai yang salah untuk dirinya ikuti.

“Ketika seorang anak memasuki usia remaja hingga dewasa, mereka akan mencari sendiri jalan hidupnya. Pengalaman si anak yang didapatkan ketika bertemu orang-orang yang berbeda pandangan atau perspektif, akan ikut menentukan orientasi hidup dari anak itu sendiri. Seorang anak akan mengikuti pandangan yang dirasa sesuai dengan apa yang ia yakini,” ujarnya di Jakarta, Rabu (4/10/2023).

Kepala Biro Humas dan Ventura Universitas Pancasila ini menambahkan, pada usia remaja, anak juga sudah menentukan apakah dia lebih percaya pada lingkungan sosialnya yang baru, ataukah pada keluarganya sendiri.

“Pada akhirnya, semua orang akan mengembangkan value/nilainya masing-masing, walaupun kebanyakan anak akan mengadopsi sebagian besar nilai yang sama dengan milik orang tua mereka,” kata dia. 

Terkadang, ketika anak-anak menerima aliran atau perspektif yang berseberangan dengan apa yang ditanamkan oleh orang tua, bisa jadi nanti dalam prosesnya, mereka justru kembali lagi pada original value (nilai asli) keluarganya.

Kebanyakan guru atau tenaga pendidik di Indonesia, lanjut Maharani, seringkali terburu-buru untuk melihat anak didiknya punya perilaku yang agamis. 

Keinginan ini menyebabkan lingkungan pendidikan anak di Indonesia akhirnya lebih banyak dikemas oleh aspek ritual semata, seperti cara berpakaian, sikap yang terlihat santun, tetapi pemahaman agamanya sangat dangkal.

“Bahkan masih ada saja guru yang memaksakan persepsinya terhadap agama yang ia yakini. Beberapa sekolah juga masih ada yang hanya menitikberatkan pada perspektif agama saja. Sebagai contoh, kadang-kadang anak di usia remaja itu ada kalanya bicara tentang pacaran, tapi seringkali ditanggapi dengan cepat bahwa pacaran itu dosa, tanpa diberikan pemahaman dari sudut pandang yang lebih mudah untuk dicerna para remaja. Persoalan pahala dan dosa adalah hal yang abstrak sehingga perlu diimbangi dengan pendekatan akademis dan logis agar mudah untuk mengajak dan membentuk karakter anak-anak kita menjadi lebih baik lagi,” jelasnya.

Dirinya mengatakan, ketika penjelasan yang orang tua atau guru berikan sulit diterima oleh anak, mereka jadi malas untuk mengikuti ajakan baik yang datang padanya. 

Ajakan orang tua atau guru kepada anak untuk beribadah dengan lebih giat tentu tidak salah, namun perlu diingat bahwa anak harus merasa dilibatkan dan tidak hanya seperti diperintah saja.

“Contohnya, ada anggapan bahwa jika anak rajin salat, maka ia akan berperilaku baik. Adanya anggapan seperti ini berarti ada cara berpikir yang tidak komprehensif dan sering dipaksakan pada yang anak belum paham korelasi antara ibadah dan akhlak yang baik. Anak-anak kita jadi tidak terbiasa berpikir kritis karena mereka lebih diharapkan untuk menerima saja apa yang diberikan padanya. Ironisnya, ini adalah praktik pendidikan agama di Indonesia selama bertahun-tahun,” kata Putri.

Putri yang juga aktif sebagai psikolog anak dan keluarga ini pun mengajak pada orang tua untuk mau mempertimbangkan secara bijak dalam memilih lembaga pendidikan bagi anak-anaknya. 

Orang tua perlu bersikap kritis dan berusaha mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang lembaga pendidikan yang mengajarkan agama terhadap anak-anak mereka.

“Misalnya, walaupun orang tua mau menitipkan anaknya di pesantren, tetap harus dipelajari dulu kredibilitas lembaganya seperti apa? Kurikulumnya bagaimana? Hal ini tentunya berlaku untuk semua latar belakang agama,” katanya.

Putri menjelaskan, anak juga perlu dibekali dengan wawasan dari bahan bacaan yang luas dan punya pergaulan dari lingkungan sosial yang sehat. 

Ini dapat menjadi support system bagi anak, agar dapat melihat dunia tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Dengan begitu, anak dapat melihat benang merah dari semua pelajaran yang ia dapatkan, tidak hanya tekstual namun juga bisa memahami lapisan kontekstualnya.

“Kita sebagai orang tua juga perlu belajar  untuk mengaitkan semua pengalaman yang dimiliki untuk menjadi pemahaman yang komprehensif untuk anak-anak kita dan mendampingi mereka untuk mencerna segala fenomena yang terjadi,” ujarnya mengakhiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *