JAKARTA – Idul Adha yang beberapa hari lalu telah dilaksanakan memiliki makna sangat dalam bagi umat Islam. Dimana berkurban adalah bentuk pencegahan terhadap sikap egoisme, yaitu melatih diri menekan hawa nafsu dan kerelaan berbuat sesuatu yang mendatangkan masalah bagi orang banyak.
Demikian dikatakan Dosen Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, Suaib Tahir, di Jakarta, Minggu (17/7).
“Manusia mampu menekan hawa nafsu dan menyadari bahwa berkurban bukan saja dapat pahala, tetapi juga bisa memberi makan bagi orang lain,” ujarnya.
“Mereka yang memiliki kepedulian tinggi terhadap orang lain, pasti mampu menekan egoisme dan kepentingan kelompoknya,” lanjutnya.
Berkurban dalam Islam, memiliki arti mendalam dan menjadi panutan bagi umat. Selain karena merupakan tuntunan, juga sebagai panutan bagi sayyidul anbiya Nabi Ibrahim AS, yang telah rela dan bersedia mengorbankan apa yang dia cintai dalam hidupnya yaitu anaknya Nabi Ismail, putra Siti Hajar.
“Yang dilakukan Nabi Ibrahim merupakan bentuk totalitas dari kepatuhan dan kecintaan terhadap Tuhannya, sehingga ia rela mengorbankan apa yang dia cintai dalam hidupnya,” kata dia.
Baca Lagi: Pengamat Terorisme: KTN Bentukan BNPT Solusi Terbaik
Sejatinya, kata Suaib, sikap saling membantu dan tolong menolong dalam segala hal, merupakan output yang diharapkan oleh Allah SWT kepada umatnya dalam memperingati idul kurban.
Karena itu, agar terbiasa rela dan tidak egois, perlu bagi umat untuk terlebih dahulu melihat dan bertanya kepada dirinya sendiri siapa sebenarnya dirinya, bagaimana dirinya harus hidup dan untuk apa dirinya harus hidup.
“Pertanyaan tersebut, haruslah bisa terjawab untuk memunculkan sikap kerelaan. Jika kita mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan memahaminya dengan baik, maka otomatis akan tercipta dalam diri kita rasa kebersamaan, tolong menolong, berempati, dan mencintai sesama,” katanya.
“Dalam Islam banyak sekali anjuran kepada umat Islam agar selalu menjaga kebersamaaan, solidaritas antar sesama, saling tolong menolong dalam kebaikan. Kalau seseorang tidak memperhatikan hal ini maka sesungguhnya ke-Islamannya perlu dipertanyakan,” tambahnya.
Suaib berharap, pemerintah bersama tokoh agama juga mampu mendorong umat senantiasa bersikap rendah hati dan mulai melakukan segala sesuatunya untuk kemaslahatan umat.
”Setiap tokoh atau ulama harus selalu mengedepankan pendekatan-pendekatan lunak dalam berdakwah, dan membimbing masyarakat,” kata dia.