SALATIGA – Sebanyak 57 mantan narapidana terorisme atau mitra deradikalisasi bersama keluarganya dari wilayah Jawa Tengah mendapat pembekalan wawasan kebangsaan dan moderasi beragama oleh Subdit Bina Masyarakat, Direktorat Deradikalisasi, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Warung Joglo Bu Rini, Salatiga, Rabu (15/3/2023).
Pembekalan ini adalah bagian dari penguatan program deradikalisasi untuk mengurangi, menghilangakan dan membalikan proses radikalisme yang telah terjadi. Dalam kegiatan ini BNPT bersama stakeholder terkait, seperti Densus 88 Polri, Kodam IV/ Diponegoro, Polda Jateng, BAIS, BIN, Formkopimda Provinsi Jawa Tengah dan Kota Salatiga
Direktur Deradikalisasi BNPT RI, Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, mengajak para mitra deradikalisasi untuk kembali menjunjung tinggi nilai kebhinekaan dan nilai moderasi beragama. Moderasi beragama pertama adalah memperkuat komitmen kebangsaan.
“Apa itu komitmen kebangsaan? Berpedoman pada Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Undang-undang 1945. Kedua adalah toleransi, jangan merasa paling benar dalam beragama, harus menghormati sesama. Ketiga, mengakomodasi kebudayaan dan kearifan lokal. Terakhir adalah anti kekerasan,” ujar Nurwakhid.
Menurutnya, para penganut ideologi terorisme selama ini selalu anti dengan budaya dan kearifan lokal. Mereka menganggap budaya dan kearifan lokal itu bid’ah sehingga tidak boleh dilakukan. Penting bagi Mitra Deradikalisasi yang sudah kembali ke masyarakat dan bersedia mengikuti program deradikalisasi, untuk kembali menjadi orang Indonesia dengan memahami nilai-nilai luhur bangsa Indonesia berupa budaya dan kearifan lokal Nusantara.
Demikian juga dengan Pancasila, katanya, Pancasila bukan agama dan tidak akan menggantikan agama. Pancasila juga dirumuskan dengan pertimbangan perbedaan etnis dan agama yang ada di Indonesia namun tanpa melanggar perintah Tuhan, baik di agama Islam maupun agama lain.
“Perbedaan antara manusia adalah sunatullah, keragaman adalah sunatullah, barang siapa yang tidak menghargai perbedaan, maka dialah yang berada dalam kekafiran,” katanya.
Ia mengajak para mitra deradikalisasi yang pernah mengalami peristiwa yang dianggap melanggar hukum di Indonesia, agar tidak berkecil hati dan patah semangat.
“Sebagai militan harus tetap semangat berjihad pada NKRI. Mitra deradikalisasi adalah bagian dari mujahid NKRI. Banyak yang bilang mitra deradikalisasi masih banyak yang ‘merah’. Tidak apa-apa. Tapi harus ditambah ‘putih’, menjadi Merah Putih,” kata Nurwakhid.
Sekretaris BPET MUI, M Najih Arromadloni, menambahkan meskipun deradikalisasi itu istilah baru yang dicetuskan dan dikenal bukan dari agama Islam, namun secara historis, akar sejarah deradikalisasi pertama muncul dilakukan oleh Ibnu Abbas, di masa khalifah Ali bin Abi Thalib dalam menghadapi kelompok Khawarij.
“Mitra deradikalisasi saat ini harusnya memiliki beban untuk memperbaiki citra Islam di Indonesia. Deradikalisasi tidak menjauhkan dari Islam, namun memperkuat pemahaman tentang Islam, dan mengembalikan Islam pada Islam yang sebenarnya,” kata Gus Najih.
Ia juga membagikan pengalaman di Suriah yang berbeda dengan narasi yang digaungkan oleh kelompok radikal terorisme. Untuk itu ia mengimbau kepada para mitra deradikalsiasi agar tidak termakan narasi-narasi untuk hijrah ke Suriah.
Sementara itu, salah satu mitra deradikalisasi Sri Puji Mulyo Siswanto membagikan kisahnya masuk dalam dunia radikal terorisme hingga menyadari kekeliruannya di masa lalu.
“Saya merenungi beberapa hal. Salah satunya founding father negara ini. Mereka pasti mendiskusikan bagaimana berdirinya NKRI dan Pancasila, tanpa ada pertumpahan darah meskipun banyak sekali kepentingan yang perlu diakomodir. Kemudian, tanggung jawab saya sebagai bapak, untuk istri dan anak. Selama saya ditahan, saya sudah menelantarkan anak dan istri. Dari situlah saya ingin sisa hidup saya memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada keluarga dan negara,” kata Sri Puji.