JAKARTA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut pelaku kekerasan seksual di sekolah kerap dilakukan oleh tenaga pendidik atau guru, dengan presentase 88 persen. Sementara kepala sekolah berada diangka 22 persen.
“Pelaku guru itu 40 persen guru olahraga, sementara guru agama itu 13,33 persen. Selebihnya guru mata pelajaran lain dan wali kelas,” ujar Komisioner KPAI, Retno Listyarti, seperti ditulis KOMPAS TV, Minggu (12/12/2021).
Kasus kekerasan seksual saat ini banyak terungkap, hal itu lantaran korban sudah berani melaporkan kejadian yang dialaminya. Apalagi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Sebelumnya, kata Retno, korban kekerasan seksual di sekolah cenderung tidak mau melapor. Salah satu penyebab adalah persoalan relasi kuasa. Dimana, jika korban melaporkan kekerasan, justru yang terjadi yakni intimidasi atau ancaman dari guru yang merupakan pelaku.
Padahal, apabila kasus kekerasan seksual di sekolah tidak pernah dilaporkan maka yang terjadi korbannya akan terus ada.
“Korban kekerasan seksual itu tidak mau melapor. Dan kalau guru yang menjadi pelaku, kan ada relasi kuasa. Padahal kalau dibiarkan dan tidak pernah diadukan maka korbannya akan terus ada,” katanya.
Menurut Retno, korban kekerasan seksual di sekolah itu bisa terjadi pada siswa laki-laki ataupun siswi perempuan. Dimana pada tahun 2018, kasus kekerasan seksual di sekolah paling banyak dialami laki-laki yakni sebanyak 122 orang dan 32 orang adalah perempuan.
Kemudian tahun 2019, KPAI mencatat korban kekerasan seksual yang terjadi di sekolah paling banyak dialami oleh siswi perempuan. Dari laporan yang diterima sebanyak 123 anak dengan rincian 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki.
KPAI mencatat, kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan banyak terjadi di Sekolah Dasar (SD) yakni sebanyak 64,7 persen. Selanjutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 23,53 persen, dan SMA sebanyak 11,77 persen.
Oleh karena itu, KPAI mendorong pihak sekolah untuk menghindari jalur mediasi apabila terjadi kekerasan seksual di lingkungannya. Terlebih kasus itu terjadi pada anak di bawah umur.
“Jadi seharusnya tidak ada mediasi dalam hal ini. Penyelesaian harus ke ranah hukum,” kata dia.