MERAUKE – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengajak pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, dan masyarakat Merauke untuk memperkuat pencegahan paham radikal intoleran yang mengarah pada terorisme. Sinergi tersebut dilakukan sebagai upaya pencegahan agar lebih efektif dan maksimal.
Demikian dikatakan Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafli Amar, pada kegiatan Silaturahmi Kebangsaan BNPT RI bersama Forkopimda, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Agama Kabupaten Merauke di Merauke, Kamis (24/6/2021).
Ia mengatakan, selama ini penanganan terorisme yang dilakukan TNI-Polri pada sisi penegakan hukum. Karenanya, upaya soft approach atau pencegahan yang harus dilakukan adalah penguatan kepada seluruh masyarakat, sehingga tidak ada satu pun kekerasan yang terjadi dan berdampak menimbulkan korban jiwa, termasuk di tanah Papua.
Sebagai rasa bentuk tanggung jawab, negara harus menemukan cara yang efektif agar kekerasan itu tidak berdampak pada kesengsaraan masyarakat. Sedangkan proses yang terkait dengan penegakan hukum dari pihak masyarakat yang bersenjata tetap dilaksanakan oleh Polri dan TNI.
“Tujuan utama adalah bagaimana negara menjadi kuat dalam meniadakan perilaku kekerasan apalagi terorisme,” kata dia.
Tujuan dari pemerintah membangun Papua adalah untuk membangun kesejahteraan. Bahkan selama 20 tahun, pemerintah memberikan daerah otonomi khusus sejak 2001 dan telah banyak program yang dijalankan, dengan tujuan mensejahterakan masyarakat Papua, walaupun perlu banyak evaluasi yang dilakukan.
“Perlu dukungan tokoh agama, tokoh adat. Kita perlu mencari formasi yang baik agar terciptanya Papua yang aman, damai, sejahtera, bahagia,” ujar dia.
Salah satu rencana yang akan dikerjakan pemerintah pusat, lanjut Boy, adalah pemekaran provinsi, termasuk informasi yang berkaitan dengan Papua Selatan. Ini adalah bentuk komitmen pusat yang perlu disambut dengan gembira, tetapi tidak boleh membiarkan kekerasan yang mendatangkan korban jiwa ditengah masyarakat.
Selain itu, BNPT terus menggagas upaya moderasi dalam beragama. Salah satunya dengan bekerjasama dengan gugus tugas pemuka agama yang ada di Indonesia, dalam hal ini Lembaga Persaudaraan Ormas Keagamaan (LPOK).
“Kami tahu bahwa tokoh agama memegang peran yang sangat penting untuk membimbing dan mengajak umat agar memiliki tata kelola kehidupan yang baik berdasarkan nilai-nilai agama,” katanya.
“Negara kita yang berdasarkan ideologi Pancasila mengedepankan semangat toleransi dalam beragama, menghormati syariat dalam beragama yang dijalankan masing masing agama,” Boy menambahkan.
Namun yang harus kita waspadai adalah adanya pihak-pihak yang menyalahgunakan nilai-nilai agama. Dimana agama dijadikan seolah olah alat perjuangan, padahal terorisme tidak diajarkan dalam agama. Hal itu bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Terkait Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua, Boy mengatakan, pendekatan dan dialog tetap menjadi sesuatu yang dikedepankan. Tetapi diakui untuk menjawab persoalan itu sangat tidak mudah. Perlu usaha, perlu koneksi secara langsung agar mereka yang sudah teridentifikasi.
“Kami sedang mencari jalur komunikasi ke pihak mereka. Kita harus membangun komitmen agar kekerasan yang berdampak lahirnya korban jiwa harus kita hentikan tanpa syarat. Karena kita semua adalah makhluk Tuhan yang ingin hidup sejahtera, ingin hidup bahagia di dunia,” katanya.
Menurut dia, proses penyebarluasan paham radikal intoleran sampai hari ini masih berlangsung. Mulai dari mengembangkan paham intoleran, membentuk entitas yang sifatnya eksklusif, dan bergabung dalam kelompok teroris yang telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pengadilan negeri, di antaranya Jamaah al Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Daulah (JAD), dan ISIS.
Ia mencontohkan, JAD adalah organisasi terlarang namun mereka berhasil merekrut secara diam-diam untuk memperluas jejaring, termasuk di Merauke.
Oleh karena itu, pihaknya menggelar silaturahmi tersebut agar intoleran radikalisme yang dikembangkan oleh pengusung ideologi terorisme dapat dihentikan. Apalagi di tengah maraknya penggunaan teknologi informasi media sosial, hal itu menjadi bagian yang mempermudah komunikasi mereka diantar Negara antar pulau.
Kondisi seperti itu, memerlukan langkah strategis kedepan yang telah dituangkan dalam sebuah regulasi UU yang diperbaharui dari UU No.15 tahun 2003, yang sebelumnya adalah Perpu No.1 tahun 2002, yang terakhir hasil revisi dari UU No.15 tahun 2003 adalah UU No.5 tahun 2018.
“Ada tiga langkah yang harus dikerjakan BNPT bersama masyarakat luas, dengan seluruh komponen. Pertama kesiapsiagaan nasional, kedua kontra radikalisasi, dan ketiga deradikalisasi,” katanya.